Pemilu 2024 dan Arah Perekonomian Kita
Regulasi dan institusi merupakan persoalan paling menghambat perekonomian Indonesia.
Pemilihan umum biasanya berdampak positif bagi perekonomian melalui peningkatan konsumsi masyarakat dan lembaga nonprofit rumah tangga. Namun di sisi lain, hajatan lima tahunan itu cenderung mengakibatkan penurunan investasi sehingga mendorong perlambatan ekonomi. Semakin tinggi ketidakpastian (politik), semakin besar koreksi investasi, dan semakin dalam pula risiko perlambatan ekonomi.
Pemilu 2024 ini, khususnya pemilihan presiden, membawa ketidakpastian yang sangat tinggi. Masih ditambah dengan situasi global yang juga makin rumit, investasi diperkirakan akan merosot tahun ini sehingga pertumbuhan ekonomi di tahun pemilu ini berpotensi terkoreksi. Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan 2024 sebesar 4,5-5,3 persen.
Kemungkinan pertumbuhan akan berada pada kisaran 4,8–4,9 persen. Selain punya implikasi pada siklus ekonomi jangka pendek (cyclical effect), pemilu juga punya potensi memengaruhi situasi struktural jangka panjang (structural effect). Untuk itu, diperlukan evaluasi kebijakan pembangunan selama ini serta identifikasi perbaikan kebijakan.
Masih diperlukan pilar kebijakan lain, terutama penguatan regulasi dan institusi serta pengembangan sumber daya manusia.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo selama dua periode sangat fokus pada pembangunan infrastruktur. Tentu saja arah kebijakan ini harus dilanjutkan dengan beberapa perbaikan. Pembangunan infrastruktur adalah syarat bagi pembangunan ekonomi dan industri (hilirisasi).
Namun, itu belum cukup. Masih diperlukan pilar kebijakan lain, terutama penguatan regulasi dan institusi serta pengembangan sumber daya manusia. Ketiganya harus dilakukan secara komprehensif dengan proporsi yang tepat.
Hambatan pokok
Pengambil kebijakan layaknya seorang dokter, hal pertama yang harus dilakukan adalah mendiagnosis persoalan mendasar perekonomian. Baru kemudian menentukan formula kebijakan yang tepat guna mengatasi persoalan tersebut.
Pada 2017, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah melakukan studi guna mengidentifikasi hambatan pokok perekonomian Indonesia. Metode yang digunakan adalah diagnosis pertumbuhan (growth diagnostic) yang menghasilkan peta urgensi persoalan dan bukan sekadar daftar panjang masalah yang tak memberi rekomendasi prioritas penanganan.
Studi ini menunjukkan masalah regulasi dan institusi sebagai persoalan paling menghambat (’the most binding constraints’) perekonomian Indonesia sehingga perlu diselesaikan paling dulu.
Studi ini menunjukkan masalah regulasi dan institusi sebagai persoalan paling menghambat (the most binding constraints) perekonomian Indonesia sehingga perlu diselesaikan paling dulu. Masalah berikutnya adalah kualitas sumber daya manusia, pasokan infrastruktur, dan kapasitas fiskal dalam mendukung pembangunan.
Urgensi ketiganya sejajar sehingga bisa ditangani bersamaan secara proporsional. Jelas sekali, persoalan regulasi dan kelembagaan menjadi persoalan paling krusial yang perlu segera ditangani.
Lanjut dengan perbaikan
Sepanjang pemerintahan Presiden Joko Widodo, pembangunan infrastruktur menjadi fokus utama dengan anggaran begitu besar. Pada 2015, anggaran infrastruktur meningkat drastis menjadi Rp 256 triliun dari Rp 154 triliun pada tahun sebelumnya.
Pengeluaran pembangunan infrastruktur paling tinggi terjadi pada 2020 sebesar Rp 423 triliun. Tahun ini, alokasi anggarannya sebesar Rp 422 triliun. Jika dijumlahkan, total anggaran pembangunan infrastruktur pada era Jokowi lebih dari Rp 3.500 triliun.
Total anggaran pembangunan infrastruktur pada era Jokowi lebih dari Rp 3.500 triliun.
Sebagai perbandingan, total belanja pemerintah (APBN) pada 2024 sebesar Rp 3.325 triliun. Jadi, anggaran pembangunan infrastruktur selama 10 tahun terakhir sudah lebih besar dari total pengeluaran pemerintah pada 2024.
Pembangunan infrastruktur perlu dilanjutkan, tetapi dengan perbaikan. Pertama, pembenahan dalam hal pembiayaan agar tidak menimbulkan beban keuangan negara dalam jangka panjang.
Produktivitas
Kedua, peta jalan transmisi dampak pembangunan infrastruktur pada perekonomian perlu dirumuskan. Tambahan pasokan infrastruktur harus mampu mendorong kegiatan usaha sehingga mendorong peningkatan pendapatan masyarakat.
Dampaknya, penerimaan pajak akan meningkat. Dengan kata lain, pembangunan infrastruktur harus mampu meningkatkan produktivitas ekonomi.
Pembiayaan pembangunan infrastruktur yang bergantung pada anggaran negara juga berpotensi korupsi. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan baru saja melaporkan, 36,67 persen anggaran proyek strategis nasional (PSN) digunakan untuk kepentingan pribadi.
Jika total anggaran infrastruktur dikorupsi 20 persen saja, maka anggaran negara yang menguap melebihi Rp 700 triliun.
Peningkatan alokasi anggaran negara dalam jumlah besar, tanpa disertai perombakan regulasi dan kelembagaan, berpotensi jadi sasaran korupsi. Jika total anggaran infrastruktur dikorupsi 20 persen saja, maka anggaran negara yang menguap melebihi Rp 700 triliun.
Analisis kami bersama Siwage Dharma Negara, yang diterbitkan Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) dalam Perspective (edisi 20/12/2023), mengulas manajemen utang badan usaha milik negara (BUMN) dalam rangka mendukung PSN. Tanpa perbaikan manajemen utang dan kinerja BUMN, keberlanjutan PSN menjadi persoalan.
Ambil contoh kasus PT Waskita Karya Tbk (WSKT) yang pada triwulan III-2023 mengalami kerugian Rp 2,83 triliun. Apa yang dialami PT Waskita hanyalah puncak dari gunung es persoalan pembiayaan pembangunan infrastruktur yang secara umum perlu perbaikan sistematika dan tata kelola.
Rasio pajak anjlok
Pembangunan infrastruktur yang masif seharusnya bisa meningkatkan penerimaan negara. Namun, dalam sepuluh tahun terakhir rasio pajak terhadap perekonomian (tax ratio) justru turun dari 14 persen pada 2012 menjadi 10,39 persen pada 2022. Rasio pajak merupakan resultante dari banyak faktor, tetapi tetap perlu perencanaan agar pembangunan infrastruktur memiliki nilai tambah yang terukur bagi perekonomian.
Merujuk pada studi Bappenas, faktor paling menghambat pembangunan ekonomi di Indonesia adalah regulasi dan kelembagaan. Siapa pun presiden yang terpilih nanti perlu fokus pada aspek ini sehingga terjadi penataan menyeluruh pada aspek tata kelola, proses kerja, serta koordinasi baik antara kementerian dan lembaga maupun antara pemerintah pusat dan daerah dalam pembangunan.
Dalam sepuluh tahun terakhir rasio pajak terhadap perekonomian (’tax ratio’) justru turun dari 14 persen pada 2012 menjadi 10,39 persen pada 2022.
Melalui perbaikan regulasi dan kelembagaan, anggaran pemerintah yang terbatas bisa lebih efektif dan efisien guna mendorong produktivitas perekonomian.
Dengan begitu, pemilu tak sekadar memengaruhi dinamika perekonomian jangka pendek, tetapi juga menentukan arah pembangunan jangka panjang. Pemerintah ke depan perlu mengakui keberhasilan pembangunan selama ini, tetapi juga harus berani memperbaiki berbagai hal mendasar yang memerlukan perubahan.