logo Kompas.id
EkonomiBeban Politik Uang
Iklan

Beban Politik Uang

Hari-hari jelang pemilu ada komoditas yang nilai jualnya meroket, yakni suara rakyat. Hal itu sangat disayangkan.

Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA, DIMAS WARADITYA NUGRAHA, AGNES THEODORA WOLKH WAGUNU
· 3 menit baca
Mural tentang ajakan menolak politik uang dan mengawasi pemilu yang adil menghiasi tembok rumah warga di Parigi, Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (16/6/2020).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)

Mural tentang ajakan menolak politik uang dan mengawasi pemilu yang adil menghiasi tembok rumah warga di Parigi, Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (16/6/2020).

Hari-hari jelang pemilu, ada komoditas yang nilai jualnya meroket, yakni suara rakyat. Politik uang mengintai. Para pemilih, termasuk pemilih muda, menjadi sasaran. Padahal, politik uang menjadi beban ekonomi para kandidat yang bisa mendorong ke beban negara, yakni korupsi.

Hal ini juga menurunkan daya saing investasi yang pada akhirnya memengaruhi perekonomian negara. Bagaimana para pemilih muda melihat hal ini? Berikut kutipannya berdasarkan wawancara yang dirangkum pada Minggu (14/1/2024).

Reyhan Imanullah (21), Mahasiswa Binus University, berpendapat, pemilu seharusnya berlandaskan meritokrasi yang mengedepankan adu gagasan dan visi-misi antarcapres-cawapres atau calon legislatif (caleg). Kalau ada calon yang punya anggaran untuk bingkisan atau money politic, sebaiknya dipakai untuk program kampanye yang bentuknya seperti wadah diskusi atau tanya jawab antarcapres dengan masyarakat.

Nah, itu kenapa lebih baik? Karena dengan adanya program itu bisa membuktikan bahwa capres memang ”keep in touch” ke masyarakat secara ruang diskusi ini benar terbuka dan siapa pun bisa melontarkan pertanyaan dan mungkin bisa mengkritik secara langsung. Program seperti ini juga bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat karena masyarakat bisa menilai calon tersebut dengan transparan dan terbuka untuk mendengar dan menjawab keluh kesah ataupun pertanyaan masyarakat.

Baca Juga: Politik Uang dan Komoditas ”Suara Rakyat”

Reyhan Imanullah, mahasiswa Binus University, Jakarta
DOKUMENTASI PRIBADI

Reyhan Imanullah, mahasiswa Binus University, Jakarta

Adapun Elizabeth Florence Warikar (27), mahasiswi di Yogyakarta, mengatakan, ”Aku menyayangkan dan tentu tidak setuju dengan politik uang. Kita sebagai masyarakat itu seharusnya ’dicekoki’ dengan gagasan calon pemimpin atau calon wakil kita,” kata Elizabeth.

Namun, lanjut dia, ketika masyarakat justru disuap dengan uang atau bingkisan, pada akhirnya calon bersangkutan bertendensi untuk korupsi. Sebab, dia harus mengembalikan modalnya lagi sehingga ide yang dibutuhkan masyarakat justru tidak terlihat.

Sebenarnya, ketika seseorang mencalonkan diri mewakili partai politik (parpol), berarti tanggung jawab parpol juga. Seharusnya parpol bisa menyokong dana calon-calonnya sehingga mereka juga bisa fokus membuat strategi kinerja yang lebih baik untuk menggaet masyarakat. Jadi, calon tidak dilepas sendiri karena adu gagasan yang terpenting untuk masyarakat.

Baca Juga: Merdeka dari Politik Uang

Iklan
Elizabeth Florence Warikar, mahasiswa di Yogyakarta
ARSIP PRIBADI

Elizabeth Florence Warikar, mahasiswa di Yogyakarta

Adapun Daniel Keliopas Wader (36), karyawan swasta di Holtekamp, Jayapura, Papua, melihat, dengan politik uang, mereka (para calon wakil rakyat) hanya membuang-buang energi karena pola yang dipakai sudah melawan hukum. Mereka rugi dan membuat masalah baru.

Ketika terpilih dengan cara ini, mereka belum tentu dapat bekerja sesuai tugas dan fungsinya. Jadi, mereka hanya mencari ketenaran saja. Jelang pemilihan, para calon muncul dengan berbagai cara. ”Setelah dipilih, belum tentu kami melihat mereka, entah di media atau bertemu langsung,” kata Daniel.

Sumber dana yang mencurigakan juga harus dicari tahu.

Daniel melanjutkan, ”Kalau Tuhan kasih jalan, amanah dari rakyat bisa berjalan. Kalau sudah pakai uang, berarti dia harus cari uang lagi untuk menutupi pengeluarannya. Saya pernah jadi Panitia Pemungutan Suara (PPS). Biasanya seminggu sebelum pemungutan suara pasti marak, entah panitia diajak makan atau tim sukses datang ke rumah untuk memanfaatkan surat suara DPT yang bermasalah atau berlebih.”

Baca Juga: Isu Lama Politik Uang

Ia menggarisbawahi, pemerintah seharusnya menegakkan aturan dengan tegas. Ketika mereka mencalonkan diri, laporan harta kekayaan calon sudah harus diperiksa. Sumber dana yang mencurigakan juga harus dicari tahu. Semua kembali ke pemerintah untuk membuat aturan semestinya dan sungguh diterapkan.

Daniel Keliopas Wader, karyawan swasta di Jayapura, Papua
ARSIP PRIBADI

Daniel Keliopas Wader, karyawan swasta di Jayapura, Papua

Dari Tangerang, Banteng, Yohana (38), seorang pekerja lembaga swadaya masyarakat, mengatakan, ”Saya merasa politik uang itu salah meski untuk beberapa kalangan sepertinya sudah jadi kewajaran. Saya sendiri tidak pernah terpapar politik uang, tetapi beberapa saudara di luar Jawa pernah. Mereka pakai prinsip, terima uangnya, tidak coblos orangnya,” kata Yohana.

Dari cerita mereka, lanjut Yohana, ada beberapa kandidat yang menghampiri, bisa dapat lebih dari satu amplop. ”Bagi saya, uang beberapa ratus ribu tidak sepadan dengan pertaruhan hidup kalau kita sampai salah pilih pemimpin. Untunglah belakangan ini, khususnya lewat sosial media, mulai banyak anjuran untuk menolak politik uang,” kata Yohana.

Ia menambahkan, ”Supaya tidak sampai terjebak politik uang, menurut saya yang terpenting itu kenali calon legislatif (pileg) ataupun calon presiden (pilpres) yang tengah berlaga. Ketahui visi dan misi mereka, rekam jejak, sehingga sudah ada pilihan saat hari pencoblosan nanti.”

Baca Juga: Melawan Politik Uang, Perkuat Pengawasan Partisipatif

Yohana, pekerja LSM, Tangerang
DOKUMEN PRIBADI

Yohana, pekerja LSM, Tangerang

Editor:
AUFRIDA WISMI WARASTRI
Bagikan