Politik Uang dan Komoditas ”Suara Rakyat”
Hari-hari ini, menjelang pemilihan umum, ada satu komoditas yang nilai jualnya tiba-tiba meroket tinggi: suara rakyat.
Dalam ekonomi pasar bebas, apa pun bisa menjadi komoditas selama memiliki nilai jual. Hari-hari ini, menjelang pemilihan umum, ada satu komoditas yang nilai jualnya tiba-tiba meroket tinggi: suara rakyat.
Pasar jual-beli suara atau politik uang biasanya semakin ramai mendekati pemilu, bahkan pagi hari sebelum pemungutan suara, sehingga memunculkan istilah beken ”serangan fajar”. Sesuai analoginya, ada kandidat yang berusaha membeli suara dan ada rakyat yang sengaja ataupun tidak sengaja menjualnya.
Di Indonesia, politik uang mulai tumbuh subur setelah berakhirnya rezim otoriter Presiden Soeharto pada tahun 1998. Penelusuran arsip Kompas menunjukkan, istilah ”serangan fajar” pertama kali digunakan di koran edisi 6 Juni 1999, sehari sebelum Pemilu 1999—pemilihan legislatif pertama setelah runtuhnya Orde Baru.
Baca juga: Isu Lama Politik Uang
Artikel pengantar redaksi itu berisi petunjuk ringkas bagi pemilih sebelum melangkah ke bilik suara. Salah satunya, segara melapor kepada panitia pengawas jika menjumpai ”serangan fajar” atau iming-iming untuk memilih partai tertentu.
Politik uang saat itu tercatat masif dilakukan Partai Golkar, yang dominasi politiknya baru saja runtuh. Ada beberapa modus, dari iming-iming sabun colek kuning berlogo Golkar sampai membagikan uang ke rumah ibadah. Aksi Golkar saat itu pun sampai digugat ke pengadilan negeri oleh 13 partai politik peserta pemilu lainnya.
Sesuai dengan zaman yang semakin serba digital, politik uang ikut bertransformasi. Bukan lagi uang, sembako, atau pernak-pernik kampanye, politik uang juga diberikan dalam bentuk giveaway (hadiah) di media sosial atau transfer uang di dompet digital.
Pelakunya pun lebih beragam. Dari awalnya dilakukan Partai Golkar, kini hampir semua partai ikut melakukannya di berbagai level pemilu, dari pemilihan legislatif, kepala daerah, sampai presiden.
Pertengahan Maret 2023, Partai Gerindra menjadi sorotan karena membagi giveaway tiket konser band perempuan asal Korea, Blackpink. Syaratnya, warganet diminta berfoto dengan atribut Blackpink di baliho Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Saat itu, Prabowo sudah digadang-gadang maju sebagai calon presiden dari Gerindra di Pemilu 2024.
Dalam tradisi berbagi dan utang budi ala Indonesia, politik uang juga dijustifikasi sebagai bagian dari ”kewajiban moral ”.
Warganet ramai-ramai mengkritik aksi Partai Gerindra sebagai politik uang dan meminta admin Twitter Gerindra menurunkan postingan tersebut. Namun, Gerindra tidak menilai ada yang salah dengan aksi giveaway itu dan membantahnya sebagai politik uang.
Dianggap normal
Semakin hari, praktik politik uang memang terkesan semakin dinormalisasi. Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khairunnisa Nur Agustyati, kandidat dan masyarakat lebih permisif karena politik uang dianggap wajar dalam sistem pemilu demokratis yang kompetitif.
Di sisi lain, regulasi pemilu belum mengatur tegas soal politik uang. Meski Undang-Undang Pemilu mengatur sanksi pidana atas praktik itu, pada realitasnya tindak pidana politik uang sulit ditindaklanjuti.
”Pembuktiannya susah dan biasanya tidak terpenuhi unsur-unsurnya. Misalnya, bagi-bagi uang tidak dianggap politik uang ketika kandidat tidak menyampaikan visi-misi sehingga tidak bisa ditindaklanjuti. Tantangan lainnya adalah publik sulit melapor karena khawatir diintimidasi,” kata Khairunnisa.
Pada pemilu kali ini, politik uang dinilai akan semakin gencar. Apalagi, masa kampanye cukup singkat, yaitu hanya 75 hari. ”Peserta pemilu tidak punya banyak waktu untuk ke lapangan sehingga salah satu cara instan yang dipakai adalah bagi-bagi uang ke masyarakat,” ujarnya.
Baca juga: Orientasi Bansos: Antara Memenangi Pemilu atau Mengalahkan Kemiskinan
Dalam tradisi berbagi dan utang budi ala Indonesia, politik uang juga dijustifikasi sebagai bagian dari ”kewajiban moral”. Hal itu dijabarkan Guru Besar Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Burhannudin Muhtadi dalam bukunyaVote Buying in Indonesia: The Mechanics of Electoral Bribery.
Berbeda dari anggapan selama ini bahwa politik uang menarget masyarakat kurang mampu dan berpendidikan rendah, penelitian Burhannudin menunjukkan, politik uang di Indonesia ternyata lebih banyak menyasar pemilih loyal di kantong suara suatu partai atau kandidat. Faktor sosial-ekonomi tidak banyak berperan.
Banyak politisi memandang politik uang sebagai ”kewajiban moral”. Mereka merasa tidak sedang menyuap, tetapi memberi hadiah atau kompensasi bagi pemilih mereka yang tidak bisa bekerja pada hari pemungutan suara karena harus ke bilik suara.
Senada, rakyat yang menerima uang pun merasa tidak sedang disuap. ”Uang dianggap hadiah atau ekonomi moral. Si kandidat justru dinilai positif, seperti murah hati, pengertian, dan responsif. Ini sesuai dengan kultur Indonesia yang kental dengan konsep ‘utang budi’,” tulis Burhannudin.
Bagi sebagian kandidat, pemberian uang kepada pemilih loyal juga dianggap sebagai ”jaminan”. ”Ada anggapan bahwa pemilih yang awalnya mendukung kandidat tertentu bisa beralih ke kandidat lain (meski dari partai sama sekalipun) jika tidak diberi kompensasi,” katanya.
Herry memilih tidak memakai uang itu. Ia juga tidak memilih satu pun caleg saat hari-H.
Terang-terangan
Praktik politik uang di lapangan pun semakin terang-terangan meski sebagian rakyat mulai jengah. Herry Nando (32), warga Depok, Jawa Barat, misalnya, pernah mendapat nasi bungkus berisi uang Rp 50.000 oleh caleg Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada Pemilu 2019.
Ia menilai daerahnya sebagai ”kantong suara” bagi PKS karena mayoritas warga beragama Islam kuat, meski di sana juga banyak purnawirawan yang berkiblat ke Gerindra.
Saat itu, tim sukses caleg mengetuk pintu rumah warga, lalu memberikan nasi bungkus dan sembako. Ada uang Rp 50.000 dalam bungkus plastik obat yang ditempel di balik telur rebus. ”Waktu itu terang-terangan dikasih, malah mereka bawa tim dokumentasi,” kata Herry.
Padahal, pada banyak kesempatan, para petinggi PKS selalu meminta kadernya tidak menggunakan politik uang. Lima tahun lalu, Presiden PKS Sohibul Iman, dikutip dari Situs PKS, menegaskan kepada semua kadernya yang maju dalam pemilihan legislatif (pileg) agar tidak menggunakan uang untuk meraih suara. Pada awal tahun lalu, Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf al-Jufri juga menegaskan partainya menolak praktik politik uang dalam Pemilu 2024.
Herry memilih tidak memakai uang itu. Ia juga tidak memilih satu pun caleg saat hari-H karena telah memutuskan ”golput”. Bagi Herry, lebih baik kandidat itu memberikan janji konkret, seperti fasilitas umum, atau kebijakan publik yang bermanfaat, daripada memberi uang.
”Uang seperti itu belum tentu membuat orang kenal, apalagi percaya sama si caleg. Lagi pula, saya juga selama ini merasa tidak ada perkembangan yang signifikan di Depok. Saya juga bingung cara mereka yang sporadis seperti itu jelas-jelas bakar duit,” tuturnya.
Korupsi langgeng
Praktik politik uang yang terus dinormalisasi pada akhirnya menghasilkan ”pemilu pasar bebas” yang mahal, dengan modal menjadi penentu kemenangan. Politik berbiaya tinggi itu melanggengkan korupsi saat menjabat demi mendapat balik modal—momok utama yang menghambat pertumbuhan ekonomi.
Baca juga: Jajak Pendapat Kompas: Politik Uang Kian Membelenggu
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, alih-alih mendapat pemimpin yang berkapasitas dan berintegritas, masyarakat mendapat pemimpin yang permisif terhadap korupsi.
Dalam konteks struktur ekonomi, korupsi menghambat masuknya investasi berkualitas. Seorang pemimpin yang korup, misalnya, akan tebang pilih saat memberikan izin usaha, atau melakukan pungutan liar (pungli) terhadap investor.
”Investasi yang masif dan alamiah jadi terhambat. Padahal, untuk mendorong ekonomi kita tumbuh sampai 6 persen, kuncinya ada di investasi, dan investasi tidak akan bisa maksimal jika sistem yang berjalan berdasarkan pada politik uang,” ujar Faisal.
Kesejahteraan masyarakat juga ikut terenggut. Politik uang yang masif membuat politisi merasa harus balas budi kepada warga, tim sukses, atau perangkat desa yang telah membantunya saat kampanye.
Akhirnya, pembagian bantuan sosial dan subsidi lain oleh pemerintah saat menjabat menjadi tidak adil dan salah sasaran. Bahkan, bansos yang semestinya untuk kesejahteraan rakyat pun bisa ikut dikorupsi.
Alih-alih mendapat pemimpin yang berkapasitas dan berintegritas, masyarakat mendapat pemimpin yang permisif terhadap korupsi.
Oleh karena itu, perlu kesadaran masif di semua lini untuk menganggap politik uang sebagaimana mestinya: sebagai praktik korupsi, kejahatan pidana, dan musuh bersama. Dari regulator, penegak hukum, partai dan kandidat, pengusaha yang biasanya jadi pemodal, sampai masyarakat.
”Pemimpin yang terpilih karena politik uang akan melakukan cara yang sama ketika menjabat. Mereka akan mendistorsi program yang semestinya untuk kesejahteraan rakyat, serta melakukan korupsi yang menghambat pertumbuhan ekonomi berkualitas. Ini hal yang perlu disadari secara kolektif,” katanya.