Debat Pilpres soal Energi Jangan Hanya Bicara Permukaan
Yang perlu diungkap ke publik ialah bagaimana cawapres mewujudkan transisi energi di tengah tantangan yang ada.
JAKARTA, KOMPAS — Transisi energi atau peralihan dari energi fosil ke energi yang rendah emisi diyakini akan menjadi salah satu isu yang mengemuka dalam debat Calon Wakil Presiden 2024-2029 pada Minggu (21/1/2024). Kalangan pengamat mendesak para pasangan calon tak bicara di permukaan, tetapi perlu diungkap langkah konkret dalam menghadapi sejumlah tantangan yang ada.
Debat keempat Pemilhan Presiden (Pilpres) 2024 tersebut akan diikuti para calon wakil presiden, yakni Muhaimin Iskandar (dari paslon nomor 1), Gibran Rakabuming Raka (2), dan Mahfud MD (3). Energi menjadi salah satu tema di samping pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, pangan, agraria, serta masyarakat adat dan desa.
Sekretaris Jenderal Masyarakat Konservasi dan Efisiensi Energi Indonesia (Maskeei) Erwin Kasim dihubungi di Jakarta, Kamis (11/1/2024), mengatakan, pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) telah menjadi komitmen bersama sehingga pasti semua akan sepakat mewujudkan itu. Isu transisi energi juga semakin kencang di tingkat global dan Indonesia telah berkomitmen tentang itu.
Namun, yang menjadi masalah ialah seberapa jauh kemampuan Indonesia dalam mewujudkan itu. ”Roadmap (peta jalan) yang sudah ada, oke saja. Di sisi lain, potensi energi terbarukan kita melimpah. Namun, untuk diubah menjadi energi listrik atau panas itu membutuhkan biaya besar dan teknologi. Itu tantangan yang harus dijawab serta muncul dalam debat nanti,” tutur Erwin.
Baca Juga: Menyelisik Agenda Transisi Energi Calon Presiden 2024
Erwin menuturkan, harga energi terbarukan juga masih lebih mahal dibandingkan dengan energi fosil yang selama ini digunakan. Peningkatan harga energi pun belum tentu bisa dijangkau masyarakat. Pasalnya, kondisi masyarakat secara umum juga masih sangat bergantung pada harga energi yang murah. Gejolak kerap kali tak terhindarkan saat ada kenaikan harga energi, seperti bahan bakar minyak (BBM).
”Tantangan itu perlu dijawab. (Menuju emisi nol bersih/NZE 2060) ada jalan terjal, yang salah satunya karena daya beli masyarakat masih rendah. Apakah memang bisa dicapai NZE 2060 dengan kondisi yang ada sekarang? Ini yang ingin kita dengar mereka yang ingin jadi presiden/wakil presiden. Bagaimana cita-cita tersebut bisa dicapai?” ujar Erwin.
Apakah memang bisa dicapai NZE 2060 dengan kondisi yang ada sekarang? Ini yang ingin kita dengar mereka yang ingin jadi presiden/wakil presiden.
Pakar energi sekaligus Guru Besar Bidang Teknik Mesin Fakultas Teknik Univesitas Gadjah Mada (UGM) Deendarlianto mengatakan, pengakhiran dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sebelumnya sudah direncanakan pemerintah. Namun, implementasinya tak mudah karena mematikan PLTU dan menggantinya dengan energi terbarukan tidak bisa seketika.
Oleh karena itu, co firing atau pencampuran batubara dengan biomassa, yang juga bagian dari pemanfaatan energi terbarukan, mesti dimasifkan. Namun, sejauh mana itu bisa benar-benar diterapkan mesti ada ada analisis dan pengkajian berkelanjutan. Di samping itu, kelembagaannya pun perlu dibangun. Masyarakat perlu melihat sejauh mana para cawapres memandang isu itu.
Lebih lanjut, Deendarlianto menyoroti pembahasan energi yang kerap kali tidak komprehensif. ”Oke, memasifkan sumber energi terbarukan. Namun, bagaimana offtaker-nya? Tentu saja perlu ada penguatan industri, termasuk manufaktur. Juga banyak problem lain, seperti oversupply listrik, RUU (Rancangan Undang-Undang) Migas, serta RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan yang belum rampung (disahkan),” katanya.
Deendarlianto berpendapat, debat pilpres terkait isu energi bahkan seharusnya mendapat sesi khusus dan tidak digabung dengan topik lain. ”Sebab, energi ialah modal dasar pembangunan nasional. Melihat masalah harus secara komprehensif,” ujarnya.
Fluktuasi harga energi
Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga menilai, isu terkait transisi energi akan menjadi hal utama yang akan dibahas dalam debat pilpres berikutnya. Publik pun ingin mengetahui lebih spesifik bagaimana upaya mengejar target enhanced nationally determined contribution (NDC) pada 2030 dan NZE 2060.
Namun, tak kalah penting untuk dibahas adalah kebijakan populis, terkait dengan BBM solar, pertalite, dan elpiji 3 kilogram (kg) yang disubsidi pemerintah. ”Bagaimana dengan revisi aturan untuk membuatnya menjadi tepat sasaran. Ini penting karena, dari fluktuasi harga energi, pasti akan terjadi dalam lima tahun ke depan,” ucap Daymas.
Baca Juga: Energi Hijau: Anies, Ganjar, dan Prabowo Tak Singgung Keterjangkauan Harga
Isu lain yang juga penting untuk dibahas, imbuh Daymas, yakni oversupply listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), terutama pada sistem Jawa-Bali, yang menjadi hambatan transisi energi. Selain itu, hilirisasi minyak dan gas bumi serta mineral dan batubara.
Mengacu pada dokumen visi dan misi ketiga pasangan calon capres/cawapres, sejatinya semua memiliki tujuan sama, yakni mengurangi emisi gas rumah kaca hasil efektivitas ekonomi. Itu dilakukan dengan memanfaatkan dan menggali potensi-potensi sumber energi terbarukan yang ada di Indonesia secara optimal (Kompas, 7/11/2023).
Pasangan Anies-Muhaimin, misalnya, mendorong pencapaian target pengurangan emisi tahunan guna menyukseskan NZE pada 2060. Kontribusi energi terbarukan dalam bauran energi primer ditargetkan mencapai 25 persen pada 2029. Sementara Ganjar-Mahfud menjanjikan sistem pengelolaan sampah dan limbah terintegrasi untuk mewujudkan berkah ekologi.
Adapun pasangan Prabowo-Gibran tidak secara spesifik menuliskan dalam dokumen visi dan misi mereka soal target dari peningkatan kontribusi energi terbarukan. Meski demikian, mereka menyatakan akan merevisi seluruh regulasi yang selama ini menghambat peningkatan investasi baru di sektor energi baru terbarukan.