logo Kompas.id
EkonomiOpini A-Z dari Warga soal...
Iklan

Opini A-Z dari Warga soal Visi-Misi Ekonomi Debat Cawapres

Mulai dari ketimpangan, kestabilan harga, hingga lapangan kerja. Inilah harapan masyarakat akan kebijakan ekonomi presiden dan wakil presiden terpilih mendatang.

Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
· 4 menit baca
Aktivitas belanja di Pasar Jembatan Lima, Jakarta Barat, Senin (2/10/2023).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Aktivitas belanja di Pasar Jembatan Lima, Jakarta Barat, Senin (2/10/2023).

Persoalan ekonomi erat dalam kehidupan warga sehari-hari. Maka, visi-misi kebijakan ekonomi yang ditawarkan calon wakil presiden dalam debat Jumat (22/12/2023) memantik diskusi dan opini banyak warga. Apakah menurut warga visi-misi cawapres soal perekonomian ini sudah cukup memuaskan? Berikut opini beberapa warga yang diwawancarai Kompas.

Eldo (30), karyawan swasta, mengatakan, visi-misi dan debat soal perekonomian yang dilontarkan para cawapres belum bisa memberikan harapan. Menurut Eldo, masih terlalu banyak jargon dan jawaban para calon yang normatif.

”Para cawapres hanya memberikan angka-angka target tetapi tidak memberikan cara yang konkret untuk mencapai target tersebut,” ujarnya saat dihubungi, Sabtu (23/12/2023).

Eldo mengatakan, salah satu persoalan perekonomian saat ini adalah kesenjangan yang lebar antara orang-orang terkaya di Indonesia dan jutaan masyarakat kelas menengah. Selain itu, masih banyak persoalan mengenai kepastian berusaha, perizinan, dan penegakan hukum.

Baca juga: Cawapres Minim Terobosan Naikkan Penerimaan Negara

Menurut dia, yang perlu dibenahi adalah perkuat penarikan pajak dari orang kaya serta distribusikan pajak itu untuk belanja negara dengan tepat untuk mengurangi ketimpangan. Selain itu, juga perlu diperkuat kembali kebijakan pembinaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sehingga bisa naik kelas.

Tenda semipermanen berjajar di sepanjang Jalan Tenaga Listrik, Tanah Abang, Jakarta Pusat, dengan latar belakang deretan gedung pencakar langit, Jumat (6/1/2017). Meski angka ketimpangan rasio gini pada 2016 membaik dibandingkan 2015, Indonesia masih berada pada peringkat ke-4 negara paling timpang di dunia. Diperlukan kebijakan dengan prioritas pemerataan kesejahteraan untuk mengurangi ketimpangan ini.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Tenda semipermanen berjajar di sepanjang Jalan Tenaga Listrik, Tanah Abang, Jakarta Pusat, dengan latar belakang deretan gedung pencakar langit, Jumat (6/1/2017). Meski angka ketimpangan rasio gini pada 2016 membaik dibandingkan 2015, Indonesia masih berada pada peringkat ke-4 negara paling timpang di dunia. Diperlukan kebijakan dengan prioritas pemerataan kesejahteraan untuk mengurangi ketimpangan ini.

Ghina (29), wirausaha, mengatakan, para cawapres belum terang benderang dan masih terkesan normatif dalam mendiskusikan perekonomian. Hanya semakin jelas saja positioning politiknya, seperti mana yang meneruskan atau mengusung keberlanjutan dengan mana yang mengusung perubahan.

”Debat kurang masuk ke sisi teknis penyelesaian persoalan ekonomi saat ini dan masih sebatas saling serang satu sama lain,” ujarnya.

Menurut Ghina, salah satu masalah utama perekonomian saat ini masih rentannya konsumsi masyarakat karena bunga kredit perbankan yang tinggi. Selain itu, Indonesia mengalami deindustrialisasi yang ditandai dengan peran sektor manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) yang kian menurun. Padahal, potensi manufaktur sangat besar sehingga bisa meningkatkan ekspor dan membuka lapangan pekerjaan.

Dari sisi keuangan negara, katanya, belum ada terobosan kebijakan fiskal agar bisa menarik investasi sehingga bisa membantu pembangunan tanpa membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Baca juga: Janji-janji Populis Bermunculan Jelang Pemilu, Apakah APBN Mampu?

Presiden dan wakil presiden berikutnya perlu lebih gencar lagi melakukan hilirisasi industri. Ini perlu didorong tak hanya di sektor mineral, tetapi juga di sektor pertanian dan perikanan. Harapannya, sumber daya alam Indonesia bisa memiliki nilai tambah sehingga bisa mendorong ekspor dan pertumbuhan ekonomi.

Aktivitas pekerja di lokasi proyek pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter kedua PT Freeport Indonesia di Kawasan Ekonomi Khusus Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE), Gresik, Jawa Timur, Selasa (20/6/2023).
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO

Aktivitas pekerja di lokasi proyek pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter kedua PT Freeport Indonesia di Kawasan Ekonomi Khusus Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE), Gresik, Jawa Timur, Selasa (20/6/2023).

Iklan

Connie (31) pekerja lepas, menambahkan, visi-misi kebijakan ekonomi para cawapres ini kurang realistis. Salah satu contohnya, para cawapres memberikan target pertumbuhan ekonomi yang tinggi mulai dari 5 persen hingga 7 persen. Padahal, kondisi hari ini pertumbuhan ekonomi Indonesia saja hanya 4,9 persen dengan rata-rata tahunan 5 persenan.

”Mau tumbuh 6 persen saja sepertinya, kok, sudah seperti mimpi. Lalu, caranya bagaimana?” ujar Connie.

Ia menambahkan, para cawapres banyak mengampanyekan diri dekat dan peduli dengan anak muda generasi milenial dan generasi Z, tetapi sejatinya mereka tidak sungguh-sungguh memahami persoalan anak muda.

Mereka membayangkan anak muda itu adalah generasi penuh harapan yang berasal dari kalangan pemengaruh di media sosial ataupun wirausaha terkenal. Padahal, masih ada jutaan anak muda lainnya yang punya profil ekonomi berbeda dan punya persoalan yang tidak sesederhana itu.

”Dekat dengan anak muda yang mana dulu? Saya enggak ngerasa visi dan misi kebijakan ekonomi mereka itu relevan dengan anak muda,” katanya.

Lapangan kerja

Menurut dia, anak muda saat ini dihadapkan dengan sulitnya mencari pekerjaan. Pascapandemi, banyak perusahaan yang melakukan efisiensi dengan merumahkan karyawannya. Pada saat bersamaan, daya beli dan tabungan mereka menipis lantaran tergerus inflasi.

Ia menambahkan, memang ada cawapres yang mempromosikan banyak proyek dengan nilai triliunan rupiah. Namun, menurut pengalamannya selama ini, pemenang tender proyek itu, ya, orang-orang yang dekat dengan pemilik proyek saja. Jadi pada akhirnya, dia tetap harus bersusah payah mencari peluang sendiri.

Baca juga: Rencana Kenaikan Gaji ASN, TNI/Polri Disebut Politis dan Bebankan APBN

https://cdn-assetd.kompas.id/rsFSx1Ei82cmv9brlWYjutyvQ3c=/1024x2653/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F26%2Fc2dea538-f046-466f-9601-da298b1e1877_png.png

Persoalan sulitnya mencari pekerjaan ini juga diungkapkan oleh Sasi (24). Ia bercerita, saat lulus kuliah pada 2020, Indonesia terhantam pandemi. Saat itu, minim sekali lapangan pekerjaan. Akhirnya, dia selama dua tahun terakhir hanya bekerja paruh waktu di beberapa perusahaan tanpa pernah diangkat menjadi karyawan tetap.

Namun, saat ini, saat hendak melamar pekerjaan menjadi karyawan tetap, perusahaan akhirnya lebih memilih calon karyawan yang lebih muda 2-3 tahun darinya yang lulus kuliah 2022 atau 2023. Alasannya, mereka lebih muda sehingga bisa loyal ke perusahaan lebih lama.

”Ini tidak adil buat angkatan pandemi seperti saya. Jadi, mencari pekerjaan ini sulit sekali rasanya,” ujar Sasi.

https://cdn-assetd.kompas.id/B3gZgFj8ommhdNJ3q9i7PeeEkxI=/1024x893/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F25%2F255bbe76-7183-4ac1-9082-761313c4413a_jpg.jpg

Menurut dia, jika ada calon presiden yang memberikan kebijakan konkret yang sungguh-sungguh bisa membuka lapangan kerja, dia akan mantap memilihnya.

Susi (65), ibu rumah tangga, punya aspirasi sederhana saja, yaitu keterjangkauan dan kestabilan harga barang pokok. ”Mau belanja beras, telur, cabai, minyak, itu kalau bisa ya murah. Jangan naik terus,” ujar pensiunan karyawan swasta ini.

Jadi, apakah cawapres pilihanmu sudah menjawab aspirasi warga ini?

Baca juga: Opini A-Z dari Anak Muda Soal Pilpres 2024

Editor:
ARIS PRASETYO
Bagikan