TRANSISI ENERGI
Insentif, Kemauan Politik, dan Upaya Beranjak dari Batubara
Diversifikasi energi (beralih dari batubara) dinilai tidak mungkin seketika dilakukan jika tidak ada insentif-insentif yang diberikan karena batubara jumlahnya sangat banyak. Sejumlah daerah pun masih bergantung.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F27%2F2ba1ca1a-a436-4577-8425-528aa9801e13_jpeg.jpg)
Tongkang pengangkut batubara di sekitar North Pulau Laut Coal Terminal (NPLCT) batubara milik PT Arutmin Indonesia di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, Kamis (26/10/2023). Batubara yang diutilisasi di NPLCT saat ini sekitar 5,3 juta ton per tahun, antara lain untuk dikirimkan ke sejumlah pembangkit listrik tenaga uap dan ekspor.
Tak bisa dimungkiri jika batubara masih menjadi sumber energi utama untuk sektor ketenagalistrikan di Indonesia meski tuntutan transisi energi menguat. Insentif untuk energi terbarukan amat diperlukan jika ingin menggeser batubara, yang juga telah sumber perputaran ekonomi di sejumlah daerah. Koordinasi pemerintah pusat-daerah juga mesti diperkuat.
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pada 2022, porsi batubara dalam bauran kelistrikan nasional yakni 67,21 persen. Angka tersebut naik dari 2021 yang sebesar 66,01 persen. Sementara itu, porsi energi baru dan terbarukan pada 2022 sebesar 14,11 persen atau naik dari 2021 yang 13,65 persen.