logo Kompas.id
โ€บ
Ekonomiโ€บSaatnya Kita Melihat ke Dalam
Iklan

Saatnya Kita Melihat ke Dalam

Di tengah kondisi ekonomi global yang serba tidak pasti, kesadaran untuk mengurangi ketergantungan pada bahan baku impor dan memperkuat ketahanan industri pangan nasional dari hulu ke hilir kembali mengemuka.

Oleh
agnes theodora
ยท 1 menit baca
Petani sorgum, Paulus Watokola, menunjukkan sorgum yang baru saja dipanen di ladangnya, Senin (9/5/2016), di Dusun Likotuden, Desa Kawalelo, Kecamatan Demon Pagong, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Dengan kondisi iklim di area tersebut yang semakin tidak ramah terhadap padi dan jagung, sorgum tetap tumbuh subur sehingga cocok untuk menjadi tanaman pangan pokok bagi warga di sana.
KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA

Petani sorgum, Paulus Watokola, menunjukkan sorgum yang baru saja dipanen di ladangnya, Senin (9/5/2016), di Dusun Likotuden, Desa Kawalelo, Kecamatan Demon Pagong, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Dengan kondisi iklim di area tersebut yang semakin tidak ramah terhadap padi dan jagung, sorgum tetap tumbuh subur sehingga cocok untuk menjadi tanaman pangan pokok bagi warga di sana.

โ€Hati-hati yang banyak makan mi dari gandum, besok harganya naik tiga kali lipatโ€. Kalimat yang dilontarkan oleh Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, pekan lalu itu, sempat membuat heboh. Bagaimana tidak, bagi sebagian besar orang Indonesia, dengan harganya yang murah, rasa lezat, dan porsi mengenyangkan, mi instan ibarat makanan pokok kedua setelah nasi.

Kenyataannya, meski mulai mengalami kenaikan, harga mi instan tidak meroket sampai tiga kali lipat atau 300 persen. Menurut data Kementerian Perdagangan, berdasarkan pantauan harga di 216 pasar rakyat di 34 provinsi, harga mi instan naik 8,3 persen secara tahunan dari Rp 2.692 per kemasan pada Agustus 2021 menjadi Rp 2.916 per kemasan.

Editor:
NUR HIDAYATI
Bagikan