KETENAGAKERJAAN
Angin Segar Defisit Buruh Migran
Para ”pahlawan devisa” yang selama ini ikut menopang perekonomian negara lewat sumbangsih remitansi berhak mendapat perlakuan lebih baik. Beban untuk memanfaatkan momentum langka ini pun ada di pundak pemerintah.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F05%2F15%2FDSC08723_1621062637_jpg.jpg)
Petugas Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Kota Batam memantau kondisi 81 pekerja migran Indonesia di Pelabuhan Batam Centre, Kota Batam, Kepulauan Riau, Selasa (24/3/2020).
Malaysia sedang pusing. Negeri jiran itu kekurangan tenaga kerja di sektor perkebunan, manufaktur, dan konstruksi, yang selama ini selalu dipasok dari negara tetangga. Malaysia bukan sedang kekurangan suplai angkatan kerja. Hanya saja, warganya tidak tertarik untuk bekerja di sektor yang mereka anggap sebagai kerja kasar, berbahaya, berupah rendah, dan tidak butuh keterampilan tinggi.
Orang Malaysia lebih memilih pekerjaan di sektor jasa dan ekonomi digital, yang menawarkan upah lebih tinggi dan pengaturan kerja yang fleksibel. Ceruk pekerjaan di sektor konvensional pun selama ini lebih banyak diisi oleh para pekerja migran, yang ”diimpor” dari negara tetangga yang punya angkatan kerja berlebih dan kesediaan untuk bekerja kasar serabutan, seperti Indonesia.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi di halaman 9 dengan judul "Angin Segar Defisit Buruh Migran".
Baca Epaper Kompas