logo Kompas.id
β€Ί
Ekonomiβ€ΊSandiwara dan Racun Subsidi
Iklan

Sandiwara dan Racun Subsidi

Subsidi bagi rakyat yang tak mampu merupakan kewajiban negara. Namun, semua harus dilakukan dan diterapkan lewat kebijakan yang berlandaskan akal sehat, bukan berlatar belakang politik populis.

Oleh
ARIS PRASETYO
Β· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/3xeiw89tx0lD8kIteObCIlKIUJU=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F01%2F5a7fde7f-f150-492b-aa8e-0f0354278d12_jpg.jpg
KOMPAS/Lasti Kurnia

Petugas memproses isi ulang tabung gas 3 kilogram di SPBE PT Sadikun Gas, Kebun Jeruk, Jakarta Barat, Kamis (16/1/2020).

Judul di atas diambil dari pernyataan mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi Faisal Basri dan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) 2006-2009 Ari Soemarno. Dalam sebuah acara peluncuran buku di Jakarta pekan lalu, keduanya mengkritisi kebijakan pemerintah dalam menetapkan harga energi dan kebijakan pemberian subsidi. Apa yang salah?

Menurut Faisal, pemerintah dianggap bersandiwara dalam menetapkan harga energi ke masyarakat. Harga energi yang ia maksud adalah harga jual bahan bakar minyak jenis premium dan solar bersubsidi, serta penetapan tarif listrik untuk golongan pelanggan rumah tangga. Sejatinya, harga-harga tersebut bisa dievaluasi setiap tiga bulan dengan mempertimbangkan faktor nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, harga minyak dunia, dan inflasi.

Editor:
Mukhamad Kurniawan
Bagikan