Guru Teguh Melangkah di Atas Jejak Buaya
Anto Teguh Setiawan, yang setiap pagi menyeberang sungai melewati sarang buaya, mewakili perjuangan banyak guru di daerah 3T di Indonesia. Mereka bekerja tak sebatas mencari uang. Mereka mengabdi demi kemanusiaan.
![https://cdn-assetd.kompas.id/XrPtJPQTUl5lcTUeSa-PLvdG_KQ=/1024x768/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F11%2Ff9b8dae6-ce09-483b-b2d8-9b49e4a3aced_jpg.jpg](https://cdn-assetd.kompas.id/XrPtJPQTUl5lcTUeSa-PLvdG_KQ=/1024x768/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F11%2Ff9b8dae6-ce09-483b-b2d8-9b49e4a3aced_jpg.jpg)
Perjalanan Anto Teguh Setiawan menuju tempat tugas di SMA Negeri 3 Amarasi Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (27/11/2021). Daerah itu masuk kategori terluar, terdepan, tertinggal (3T).
Tujuh tahun sudah Anto Teguh Setiawan (33) melewati jalanan berisiko dari tempat tinggalnya ke sekolah. Berjalan kaki dalam kubangan lumpur, menyeberangi sungai selebar 500 meter dengan arus deras, dan ancaman buaya. Pria asal Pekalongan, Jawa Tengah, itu merasa ilmunya lebih bermanfaat di tempat pengabdiannya tersebut, sebuah wilayah terpencil di Nusa Tenggara Timur yang berbatasan dengan Australia.
Sabtu (27/11/2021) pagi, Teguh keluar dari rumah kontrakannya di Desa Bena, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Ia mengendarai sepeda motor berangkat menuju tempat tugas di SMA Negeri 3 Amarasi Timur yang terletak di Desa Enoraen, Kecamatan Amarasi Timur, Kabupaten Kupang.