logo Kompas.id
β€Ί
Pendidikan & Kebudayaanβ€ΊTemanku SMP dalam Dua Tahun...
Iklan

Temanku SMP dalam Dua Tahun ini, Sudah Tiga Kali Bercerai

Perkawinan anak terus mengancam masa depan anak-anak terutama perempuan, termasuk di masa pandemi Covid-19. Untuk mencegahnya, anak-anak harus dilibatkan, untuk meyakinkan teman sebayanya melawan perkawinan anak.

Oleh
Sonya Hellen Sinombor
Β· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/N6kdFyJjVoZrfkZk47XOnCcfK6A=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F04%2Fa749f25c-2e1b-411b-86c2-82a46a038780_jpg.jpg
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA

LA (jilbab hitam, kiri) yang baru berusia 17 tahun ditemani ibunya, NR (48), menidurkan anaknya AAC (8 bulan) di ayunan dari kain yang digantung pada berugak (saung) di tempat tinggal mereka di salah satu desa di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Jumat (16/4/2021) lalu. Dalam usianya saat ini, LA sudah tiga kali menikah dan dua kali bercerai. Pernikahan pertamanya saat ia berusia 14 tahun. Kasus perkawinan anak merupakan salah satu persoalan utama di Nusa Tenggara Barat.

Fenomena perkawinan anak di daerah bukanlah sesuatu baru. Melihat anak belasan tahun yang baru lulus sekolah dasar atau masih duduk di bangku sekolah menengah pertama menikah itu bukan hal aneh bagi masyarakat di sejumlah desa. Bahkan, pada masa pandemi Covid-19, perkawinan anak dianggap sebagai solusi untuk keluar dari problem ekonomi ataupun stigma sosial.

Namun yang terjadi bukan menyelesaikan masalah, melainkan menghadirkan persoalan baru. Ketidaksiapan dan belum matangnya seorang anak memasuki jenjang perkawinan membuat perkawinannya tidak berhasil. Kalaupun bertahan, itu hanya seumur jagung.

Editor:
evyrachmawati
Bagikan