logo Kompas.id
Pendidikan & Kebudayaan”Mas Conny”
Iklan

”Mas Conny”

Kata ”mas” kini menjadi sapaan yang inklusif bersama beberapa kata sapaan lokal lainnya (seperti abang, akang, tètèh, uda, uni). Kata-kata ini bertahan sebagai penyintas di pusaran global.

Oleh
KASIJANTO SASTRODINOMO
· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/oPmb-Ju_eTnQ1SW30qeKPtV48k8=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F02%2F20190206_GURU-BESAR_B_web_1549441955.jpg
KOMPAS/HARIS FIRDAUS

Almarhum Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) Cornelis Lay berjalan kembali ke tempat duduk seusai menyampaikan pidato dalam acara pengukuhannya sebagai guru besar, Rabu (6/2/2019), di Balai Senat UGM, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam acara itu, Cornelis menyampaikan pidato berjudul ”Jalan Ketiga Peran Intelektual: Konvergensi Kekuasaan dan Kemanusiaan”.

Ketimbang disapa ”prof” atau ”bapak”, Profesor Cornelis Lay (wafat 5 Agustus 2020) lebih senang dipanggil ”mas” plus nama akrabnya Conny. Kata sapaan ”mas” sudah lama meluas, tapi tetap menarik dibincang ketika pemanfaatannya dianggap berbelok dari kelaziman. Saat mengumumkan susunan kabinet hampir setahun lalu, contoh lain, Presiden Joko Widodo sengaja memanggil ”Mas Nadiem Makarim” kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Muncul komentar publik bahwa terjadi semacam relaksasi, mungkin pula desakralisasi, terhadap sapaan hormat bagi pejabat tinggi negara.

Menurut rekan kerjanya di Universitas Gadjah Mada, dengan sapaan populernya itu Mas Conny—atau Connie menurut ejaan lain—menunjukkan sikapnya yang egaliter dan santai dalam relasi sosialnya (Kompas, 6/8/2020). Bisa juga dilihat bahwa Mas Conny telah terbiasa dan beradaptasi dengan sapaan baku yang berlaku umum di Yogyakarta karena sekitar 40 tahun dari 60 tahun masa hayatnya ia bermukim, belajar, dan berkarier di kota itu—jauh lebih lama dibandingkan dengan masa kecil dan remaja yang ia lalui di tepian Kali Dendeng, kampung kelahirannya di Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Editor:
Aloysius Budi Kurniawan
Bagikan