Mengejar Ketertinggalan
Kenormalan logika ”mengejar ketertinggalan” bisa ditangkap apabila kita menganggap ketertinggalan mengacu kepada ”keterlambatan”. Orang lain sudah sampai, kita masih jauh terlambat, tertinggal di belakang.
”Mengejar ketertinggalan” tidak logis, kata ahli bahasa kesal. Alur logika mereka tampak jelas, langsung, dan tepat. Ketertinggalan dalam konteks perjalanan kebangsaan di tingkat dunia berarti hal-hal yang belum dipelajari, dikerjakan, atau diselesaikan, padahal seharusnya sudah dikerjakan atau diselesaikan sejak dahulu oleh anak-anak, bapa-bapa, dan ibu-ibu bangsa. Dalam garis waktu, posisi ketertinggalan ada di belakang titik sekarang. Sebaliknya mengejar adalah tindakan atau gerakan yang mengarah ke depan. Masa, sih, rakyat dan penguasa Indonesia disuruh mengejar hal yang tertinggal di belakang? Bukankah seharusnya ”mengejar kemajuan” di depan?
Toh, bagi orang banyak, rasa bahasa garis lurus macam begini rupanya dianggap tak kena di hati tak resap di dada. Lantas, selain berkeluh-kesah, bagaimanakah menjelaskan ketangguhan dan vitalitas ungkapan ini yang tidak mati-mati ditembaki penjaga bahasa? Marilah kita mencoba jawab dengan menganalisis kata ”mengejar” pada tiga paragraf berikut dan setelah itu ”ketertinggalan”.