logo Kompas.id
Pendidikan & KebudayaanMelepaskan Diri dari Belenggu ...
Iklan

Melepaskan Diri dari Belenggu ”Kawin Tangkap”

Sejatinya adat kawin mawin di Sumba, Nusa Tenggara Timur, ”memuliakan” perempuan. Karena itu, praktik kawin tangkap yang merupakan pelanggaran adat dan melanggar hak asasi perempuan harus dihentikan.

Oleh
Sonya Hellen Sinombor
· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/9HmbwcZwG21WHpQsRIlH3sVYpjU=/1024x657/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F06%2F2d4f7bfe-9ede-4c89-8748-e1e6b16a706d_jpg.jpg
Kompas/AGUS SUSANTO

Tanduk kerbau di rumah adat di Kampung Adat Tarung, Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, Kamis (25/4/2019). Kampung adat tertua di Sumba Barat tersebut hingga kini masih konsisten mempertahankan adat dan budaya lokal sesuai aslinya meski berada di tengah kota.

Kendati lembaga adat di Sumba, Nusa Tenggara Timur, menyatakan kawin tangkap merupakan pelanggaran adat, praktik yang mengatasnamakan adat itu terus berlangsung. Sejumlah perempuan di Sumba menjadi korban, terpaksa hidup dengan suami yang tak dicintainya. Beberapa perempuan melawan praktik itu dan berhasil keluar dari belenggu kawin tangkap.

Perlawanan atas praktik yang tidak ”memuliakan” perempuan Sumba tersebut dilakukan dengan berbagai cara oleh sejumlah perempuan yang menolak perkawinan paksa. Selain terbebas dari jerat kawin tangkap, mereka membuktikan ”mitos” yang ditakuti perempuan Sumba, bahwa jika melarikan diri atau kembali kepada orangtua, mereka akan susah mendapat jodoh, sulit mendapat keturunan, dan hidupnya akan sial, tidak benar.

Editor:
evyrachmawati
Bagikan