RUU Ketahanan Keluarga Matikan Potensi Bangsa
RUU Ketahanan Keluarga dinilai terlalu mengatur banyak masalah di ranah etika, mengatur relasi suami dan istri secara berlebihan. RUU ini berpotensi menajamkan segregasi masyarakat.
[caption id="attachment_11146115" align="alignnone" width="720"] Sulistyowati Irianto, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia ((paling kiri), berbicara dalam diskusi publik bertema ”Menolak Diskriminasi Gender dan Kekerasan Sistemik terhadap Perempuan dalam RUU Ketahanan Keluarga” di Gedung IASTH, Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta, Rabu (26/2/2020). Selain Sulistyowati Irianto, diskusi yang dipandu Ketua Prodi Kajian Gender SKSG UI Mia Siscawati (kedua dari kanan) juga menghadirkan pembicara Direktur Eksekutif Institut KAPAL Perempuan Misiyah (paling kanan), dan Diah Pitaloka, anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PDI-P (kedua dari kiri).[/caption]
Gelombang kritik dan penolakan atas Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga terus mengalir, menyusul beredarnya draf RUU tersebut di kalangan masyarakat. Isi dari draf RUU tersebut bukan hanya tidak sejalan dengan sejarah dan perkembangan perempuan Indonesia dan dunia, melainkan juga cenderung menghentikan kontribusi perempuan Indonesia di ranah publik.
RUU tersebut dikhawatirkan akan berdampak besar bagi negara. Selain mengancam eksistensi perempuan, RUU itu juga mengancam dan memengaruhi perjalanan bangsa. Sebab, pada Pasal 25 yang mengatur bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri di rumah akan mematikan potensi perempuan.