logo Kompas.id
β€Ί
Deskβ€ΊKebebasan Berpendapat, antara ...
Iklan

Kebebasan Berpendapat, antara Pidato Presiden dan Realitas

Pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo yang menyinggung soal pentingnya kritik sebagai bagian dari demokrasi dinilai tak selaras dengan realita di lapangan. Sejumlah tindakan aparat dinilai mengoyak iklim demokrasi.

Oleh
Dian Dewi Purnamasari
Β· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/lBjiENQS9X9lQyIKp_V6_gHld-Y=/1024x585/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F08%2Fd426dd50-4908-457e-ba18-dffc582fa634_jpg.jpg
Kompas/Hendra A Setyawan

Warga melintas di dekat tembok dengan mural bertema kemerdekaan di kawasan Poncol Lestari, Tangerang Selatan, Banten, Minggu (9/8/2020).

Menjelang Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Ke-76 RI, Selasa (17/8/2021), muncul berita viral tentang penghapusan mural dengan pesan kritik dan masih adanya kriminalisasi dengan pasal karet di UU ITE. Di tengah perayaan kemerdekaan yang sunyi di masa pandemi, muncul pertanyaan dari masyarakat sipil. Apakah masyarakat sudah merdeka untuk menyampaikan kritik dan pendapat?

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Sustira Dirga menyampaikan, penekanan terkait kebebasan berpendapat memang sempat disinggung oleh Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraan saat Sidang Tahunan MPR, Senin (16/8/2021). Presiden menyebut, mengapresiasi kritik dari masyarakat. Menurut Presiden, kritik dari masyarakat penting dan membangun budaya demokrasi. Pemerintah pun selalu menjawab kritikan dengan pemenuhan tanggung jawab seperti harapan rakyat.

Editor:
Antonius Ponco Anggoro
Bagikan