"Lacrimosa", Merayakan Sunyi Dalam Puisi
Membaca puisi-puisi Iswadi dalam buku Lacrimosa kita diajak melangkah dengan jangkauan tanpa tepi. Peristiwa, sketsa, atau sejumlah uraian yang muncul dalam puisinya seperti melengkapi semua kesunyian yang getir.
Sebagian besar puisi kita acap bertautan dengan sunyi. Diksi-diksi yang meliputinya semacam menghamburkan jeda dan ruang bagi sunyi untuk turut larut di dalamnya. Ketika berhadapan dengan puisi, dengan sejumlah imaji dan metafora yang membungkusnya aura sunyi kerap terasa sampai ke rongga dada. Barangkali apa yang pernah diucapkan penyair Acep Zamzam Noor, jika memang membedakan karya sastra yang bagus ukurannya adalah bulu kuduk.
Pun dalam buku puisi dari penyair Iswadi Pratama, hamparan sunyi terasa kental dalam puisi-puisinya. Ia merebut sudut-sudut dalam kehidupan, kemudian merangkainya hingga menjelma menjadi sejumlah sintaksis kalimat yang rapat, yang mungkin biasa dalam keseharian—namun setelah membacanya lebih jauh, antara kata satu dengan lainnya berkelindan dan memberikan tafsiran panjang.