Hak Restitusi Korban Kekerasan Seksual dalam UU TPKS
Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual telah mengatur tentang restitusi bagi korban kekerasan seksual. Namun, masih ada celah karena kurang ada unsur paksa bagi pelaku. Pengaturan restitusi perlu disempurnakan.
Persetujuan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sebagai undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR pada 12 April 2022 merupakan capaian komitmen negara dalam menghapuskan praktik diskriminasi terhadap perempuan dalam menjalankan mandat Convention on The All the Ellimination Discrimination of Against Women (CEDAW). Konvensi ini telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Basis pengalaman perempuan korban dan pendamping perempuan korban kekerasan seksual membuat UU TPKS sarat ketentuan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dan aksesibilitas pada penyandang disabilitas.
Pengalaman pendampingan kasus kekerasan seksual menunjukkan minimnya pemenuhan hak pemulihan korban. Oleh karena itu UU, TPKS mengatur restitusi sebagai hak atas pemulihan korban. Selama ini negara fokus pada penanganan pelaku, korban nyaris dilupakan setelah proses hukum selesai. Korban dianggap telah menerima keadilan dengan dihukumnya pelaku. Sementara korban dan keluarga mengalami kerugian-kerugian akibat kekerasan seksual dan harus ditanggung sendirian.