Analisis Budaya
Kresendo Suara Alam
Nyepi adalah waktu untuk mendengarkan alam. Suara alam menghanyutkan ”samadhi”. Alam merupakan pautan energi yang semarak mengalir antara tanah, sungai, tumbuhan, dan satwa. Alam dan manusia itu satu detak, satu irama.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F11%2F24%2F979f19ba-e493-4896-83da-c3f02d032134_jpg.jpg)
Dosen ilmu filsafat Universitas Indonesia, Saras Dewi
Perayaan hari Nyepi selalu mengendapkan makna ekologis di relung hati. Ritual penyepian adalah momen spiritual merasakan keterjalinan dengan seluruh denyut kehidupan. Nyepi di Bali adalah tradisi yang dipenuhi dengan ketakjuban terhadap alam. Segalanya hening, Bali sunyi senyap tanpa aktivitas atau pun kesibukan. Tapa penyepian sesungguhnya juga adalah waktu untuk mendengarkan alam.
Suara alam secara kresendo terdengar jelas, jika pada hari-hari biasanya dipadati oleh kebisingan manusia. Suara alam menghanyutkan samadhi, pada siang hari kawanan burung terbang dengan bahagia mengitari Gunung Agung. Kepakan sayapnya adalah musik, dan tarian mereka membentuk koreografi yang menghipnotis. Menjelang sore tiba, berbagai suara menjadi simfoni yang merdu, suara; ayunan laba-laba merangkai jaring, liukan tubuh ular pucuk hijau melintas dengan ceria, dan gemerisik kelapa gading diterpa angin yang sejuk. Sedangkan, malam hari Nyepi adalah obrolan panjang antara katak enggung dan tonggeret yang saling bersahut-sahutan.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi di halaman 1 dengan judul "Kresendo Suara Alam".
Baca Epaper Kompas