Papua, Kesenjangan, dan Narasi Rasialisme
Krisis Papua yang dipicu oleh ujaran rasialisme yang baru saja terjadi telah menambah daftar panjang kegagalan negara mengelola keberagaman bangsa.
Dikotomi mayoritas-minoritas, inferior-superior melembaga dengan kuat dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Atribut ras, etnis, agama dan orientasi seksual sebagai suatu ‘identitas’ sudah ‘dimanipulasi’ sebagai pemicu konflik yang melemahkan kohesi masyarakat. Seperti contohnya krisis di Wamena yang terjadi 23 September lalu, sudah membangkitkan sentimen etnis dan agama. Kerusuhan menewaskan 33 orang dan mengakibatkan eksodus ribuan pendatang ke Jayapura dipicu oleh berita penghinaan berbau rasialis seorang guru pendatang kepada muridnya yang orang asli Papua (OAP). Aksi rasialisme ini memicu kemarahan OAP dan mengakibatkan kerusuhan, pembunuhan terhadap warga pendatang dan perusakan rumah dan fasilitas umum; suatu tindakan yang tidak dapat dibenarkan dari aspek hukum dan kemanusiaan.