transportasi online, persaingan bisnis
Melerai Perang di Transportasi Berbasis Aplikasi
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F03%2F20180629_OJEK_A_web.jpg)
Pengemudi ojek dalam jaringan melintas di Jalan Gelora, Jakarta, Jumat (29/6/2018). Mahkamah Konstitusi tidak mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan sekitar 50 pengemudi ojek dalam jaringan dan warga yang mempersoalkan tidak disebutkannya sepeda motor sebagai jenis kendaraan bermotor umum ataupun perseorangan dalam Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya. KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Setelah harga penawaran umum saham perdana ("Initial Public Offering"/IPO) Uber dan Lyft anjlok di lantai bursa Amerika Serikat bulan Mei lalu, perhatian pengamat industri tertuju pada nasib perusahaan serupa di negara lain, termasuk di Indonesia. Walau kedua pemain besar di Indonesia GOJEK dan Grab masih belum akan melakukan IPO dalam waktu dekat, pasar mempertanyakan apakah perusahaan transportasi berbasis aplikasi (online) bisa memperoleh keuntungan secara berkesinambungan (sustainable) atau hanya akan terus menjalankan strategi “membakar uang” atau “jual rugi” untuk menguasai pangsa pasar?
Rasa penasaran tersebut dapat dimaklumi karena menurut dokumen publik S-1 Uber yang disampaikan kepada Securities and Exchange Commission (SEC), Uber membukukan kerugian operasional 3 miliar dollar AS pada tahun 2018 dan 4 miliar dollar AS pada 2017. FactSet juga memprediksi Uber akan tetap merugi hingga 2,14 miliar dollar AS di tahun 2019.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi di halaman 6 dengan judul "Melerai Perang di Transportasi Berbasis Aplikasi".
Baca Epaper Kompas