logo Kompas.id
›
Utama›Merawat Akar lewat Tradisi...
Iklan

Merawat Akar lewat Tradisi Ramadhan

Oleh
· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/ORBa_ifCYnAhCFZu7Xh2yl_C9Tg=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F06%2F80361277_1559925728.jpg
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI

Zainuddin Husain (42) menyalakan penerang ke dalam 14 gelas di depan rumahnya di Ketang Baru, Singkil, Manado, Sulawesi Utara, Senin (3/6/2019). Tradisi yang disebut tumbilotohe atau secara harfiah berarti ’menyalakan penerang’ ini dilakukan pada malam ke-27 Ramadhan.

Di berbagai penjuru Nusantara, interaksi antara keagungan Islam dan adat istiadat setempat menghasilkan beragam tradisi yang bermakna bagi warga yang mengukuhinya. Tradisi tumbilotohe dari Gorontalo dan sanggringan di Gresik tidak saja merawat akar diri, tetapi juga memuliakan ajaran agama.

Di Manado, Sulawesi Utara, warga keturunan Gorontalo memiliki tradisi untuk menyalakan dian atau pelita kecil selama tiga hari menjelang Idul Fitri. Secara harfiah, tumbilotohe berarti ’menyalakan penerang’. Pada Senin (3/6/2019) malam, misalnya, halaman rumah-rumah di Kampung Ketang Baru, Singkil, Manado, dihiasi cahaya dian-dian kecil. Selama tiga hari, nyala itu terus dijaga menyambut kemenangan pada Idul Fitri.

Editor:
Bagikan