Komang Ayu Sri Widyasanthi, Senyum Cemerlang Anak-anak Bali
Dokter gigi Komang Ayu Sri Widyasanthi menginisiasi gerakan Gigi Bali Sehat untuk anak-anak di desa Bali.
Dengan segala keindahannya, Bali masih punya pekerjaan rumah terkait isu kesehatan. Banyak anak di pelosok desa tidak memahami hal-hal dasar dalam menjaga kebersihan tubuh, termasuk menyikat gigi. Dokter gigi Komang Ayu Sri Widyasanthi (29) mengatasi masalah tersebut lewat gerakan Gigi Bali Sehat sejak 2018.
Siapa yang tidak punya sikat gigi? Sekitar 15 anak di Desa Alengkong, Kabupaten Bangli, mengacungkan tangan. Ayu tercengang.
Ayu datang ke desa itu sebagai volunter bersama komunitas Bali Baca Buku. Alih-alih mengajarkan calistung, Ayu yang tengah menjalani program koasistensi memutuskan untuk mengajarkan anak-anak setempat soal kesehatan mulut dan gigi. Tak disangka, menyikat gigi tidak menjadi bagian dari rutinitas mereka.
”Ini di Bali loh dan kita sudah memasuki tahun 2018. Harga sikat gigi itu paling murah ada yang Rp 3.000-an. Waktu mereka angkat tangan, saya kaget sampai tanya apa mereka bohong biar bisa dapat sikat gigi baru,” kata Ayu saat ditemui di Jakarta, Rabu (30/10/2024).
Kebingungan, Ayu menggali lebih dalam cara mereka membersihkan gigi. Jawaban berikutnya tak kalah mengejutkan. Kebanyakan menggunakan cara tradisional sesuai ajaran orangtua, seperti dengan daun, serbuk batu bata, bahkan pasir. Tiga anak lainnya menjawab satu sikat gigi bisa dipakai satu keluarga.
Alhasil, gigi anak-anak banyak yang hitam akibat karies. Nurani Ayu tergerak untuk melakukan sesuatu. ”Akhirnya, bersama teman-teman yang lain, tercetuslah gerakan Gigi Bali Sehat atau GBS. Awalnya niat kami ingin menjadi wadah pengumpulan donasi sikat gigi dan pasta gigi sekaligus edukasi tentang kesehatan gigi dan mulut,” ujarnya.
Masalah tersebut ternyata terjadi pada anak-anak di desa lainnya. GBS mulai berkolaborasi dengan banyak komunitas untuk menjangkau mereka, contohnya Bali Baca Buku, Kakak Asuh Bali, dan Bali Mendongeng. GBS biasanya mengedukasi dan memberikan donasi di kelas-kelas yang telah terjangkau komunitas-komunitas ini.
Menurut Ayu, banyak faktor yang membuat anak-anak tidak paham kesehatan gigi dan mulut, salah satunya ekonomi. Kebanyakan warga desa adalah buruh tani berpendidikan rendah yang hanya menghasilkan Rp 25.000-Rp 50.000 sehari. Uang cukup untuk beli makan tok. Selain itu, orangtua lelah akibat bekerja seharian sehingga anak tumbuh tanpa pendampingan.
Letak geografis desa ikut berpengaruh pada gaya hidup mereka. Desa Alengkong, misalnya, terletak di pegunungan sehingga susah akses transportasi. Akses air bersih juga sulit sehingga warga kerap membeli air tangki di musim kemarau. Dua atau tiga keluarga bisa memakai air satu tangki selama dua minggu untuk kebutuhan minum dan memasak terlebih dulu baru kemudian untuk mandi.
Baca juga: Darius Irenius, Seni dari Benda di Sekitar
Ayu mendapati pula anak-anak minim paham tentang menjaga kebersihan diri. Mereka jarang keramas dengan sampo, potong kuku, cuci tangan, dan buang air besar di jamban. ”Di sinilah peran kami sebagai ‘kakak’ dari adik-adik ini. Kami berusaha memenuhi peran yang orangtua tidak bisa penuhi saat ini,” ujar Ayu.
Bermacam agenda
GBS saat ini mempunyai 18 kelas binaan di desa-desa yang terletak di Kabupaten Karangasem, Bangli, Buleleng, dan Gianyar. Kelas paling banyak berada di Bangli—sedikit miris karena daerah Kintamani populer untuk wisata. Namun, GBS juga telah memberi edukasi di 9 kabupaten/kota di Bali.
Kegiatan belajar bersama GBS biasanya berlangsung di rumah warga selama tiga jam, akhir pekan. Satu kelas rata-rata terdiri atas 25-75 anak. Usia mereka berkisar 5-16 tahun. Topik pembelajaran biasanya berisi bermacam agenda, antara lain senam, menyanyi, belajar bahasa Inggris dan calistung, serta edukasi PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat), khususnya kesehatan gigi.
”Seiring perkembangan pengetahuan, cara menggosok gigi juga berkembang. Gerakan menyikat gigi itu memutar, kepala sikat miring 45 derajat mengarah ke gusi, dan cara pegangnya itu posisi ibu jari dekat dengan bulu sikatnya. Sikat gigi sebaiknya diganti 3-4 bulan sekali karena kuman bisa berkembang meskipun sudah dibilas bersih,” kata Ayu.
Selain itu, GBS juga menyertakan sesi kelas inspirasi. GBS mempunyai 75 sukarelawan dari berbagai profesi, seperti dokter, perawat, akuntan, dan arsitek. Para sukarelawan ini menjelaskan tentang profesi masing-masing. ”Jadi, anak-anak bisa mengetahui apa itu hidup sehat, apa yang mereka sukai, dan apa yang mereka mau ketika besar nanti bukan hanya bercita-cita menjadi buruh atau ART saja,” tutur Ayu.
GBS memonitor perkembangan anak-anak tiga bulan sekali lalu menjadi enam bulan sekali apabila pola hidup sehat sudah terbentuk. Dalam kunjungan lanjutan ini, Ayu dan rekan-rekannya akan mengulangi dan menambah materi edukasi, membagikan ulang sikat dan pasta gigi, serta memeriksa gigi. Hasil pemeriksaan akan diberikan ke guru atau orangtua untuk ditindaklanjuti ke puskesmas.
”Pola hidup sehat itu penting karena bagaimana anak-anak mau belajar kalau badan gatal atau sakit gigi. Mereka masih pada usia belajar respons tubuh sehingga belum bisa mengekspresikan rasa sakit, jadinya bisa malas makan nanti sakit lagi. Kesehatan gigi itu berpengaruh pada pendidikan dan kesehatan secara umum,” kata Ayu.
Dengan beragamnya kegiatan yang ada, GBS tidak menggalang donasi dalam bentuk uang, sikat gigi, atau pasta gigi semata. Gerakan ini turut menerima berbagai donasi sesuai kebutuhan, seperti sabun, baju layak pakai, dan buku. Uang donasi juga dipakai untuk membeli susu, telur, buah, dan biskuit.
Pada 2021, kerja keras Ayu mendapat apresiasi dalam ajang Satu Indonesia Awards tingkat Provinsi untuk bidang kesehatan dari Astra. Ayu lanjut berkolaborasi dengan Astra Motor Bali untuk edukasi dan membagikan ratusan paket sikat gigi bambu dan pasta gigi untuk anak-anak di Gianyar, September lalu.
Ayu menceritakan, kunjungan GBS selalu mendapat sambutan hangat, walau awal-awal anak-anak sempat ketakutan karena mengira akan disuntik. Sekarang mereka bahkan mencari-cari Ayu. Di Desa Suter, Bangli, Ayu sampai mengikuti tumbuh kembang seorang anak dari usia 3 tahun sampai masuk SD sekarang.
Baca juga: Nola Marta, Tapis yang Menyejahterakan Perajin
Kegiatan volunter memang terkadang melelahkan. Namun, energi Ayu selalu kembali penuh kala melihat antusiasme anak-anak dan keindahan desa-desa di Bali. Tersenyumlah selalu, anak-anak Bali!
Komang Ayu Sri Widyasanthi
Lahir: Tianyar, Kabupaten Karangasem, 28 Juni 1995
Pendidikan:
- S-1 Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (2013-2017)
- Profesi Dokter Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (selesai 2021)
Pekerjaan: Dokter Gigi dan Pendiri Gigi Bali Sehat
Prestasi, antara lain:
- Penerima Apresiasi Bidang Kesehatan Satu Indonesia Awards tingkat Provinsi, Astra, 2021
- Pemenang Indonesia Komphack bidang Lingkungan, UNDP Indonesia, 2020
- Pemenang III Student Review Award, 4th ASEAN Plus and Tokushima Joint International Conference, 2017