logo Kompas.id
TokohLaura Tias Avionita Sinaga,...
Iklan

Laura Tias Avionita Sinaga, Menyemai Masa Depan Tari Simalungun

Dengan segala sepak terjangnya, Laura berharap Simalungun terus dikenal orang dan tersampaikan kepada banyak orang.

Oleh
DWI AS SETIANINGSIH
· 10 menit baca
Laura Tias Avionita Sinaga, pendiri Sanggar Tari Simalungun Home Dancer (Sihoda), menari bersama anak didiknya di Kompleks Museum Simalungun, Pematang Siantar, Sumatera Utara, Rabu (4/9/2024).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Laura Tias Avionita Sinaga, pendiri Sanggar Tari Simalungun Home Dancer (Sihoda), menari bersama anak didiknya di Kompleks Museum Simalungun, Pematang Siantar, Sumatera Utara, Rabu (4/9/2024).

Tragedi hidup pernah hampir merenggut impian dan cita-cita Laura Tias Avionita Sinaga (27). Namun, ia bangkit kembali menggapai impian dan cita-citanya untuk melestarikan seni budaya Simalungun. Melalui Sanggar Tari Sihoda, Laura merangkul anak-anak muda Simalungun agar Simalungun dikenal semakin luas.

Awal September 2024, menjadi awal bulan yang sibuk untuk Laura. Secara mendadak, Sanggar Sihoda yang dipimpinnya diminta untuk tampil di Festival Adat Budaya Nusantara ke-3 yang berlangsung pada 4-7 di Padang, Sumatera Barat. Laura bersama penari-penarinya harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan serba cepat.

Rabu (4/9/2024) sore, sebelum berangkat ke Padang pada Rabu malam menggunakan bus dari Pematang Siantar, Sumatera Utara, Laura masih melatih penari-penarinya di Sanggar Sihoda yang berada di kawasan Museum Simalungun, Pematang Siantar. Padahal sejak pagi, ia juga sudah wira-wiri mencari berbagai perlengkapan rias untuk penampilan anak-anak didiknya di festival. Selasa malam, Laura juga disibukkan dengan upacara pelepasan.

”Ini memang lagi padat. Agak jantungan juga, apalagi persiapan kami hanya beberapa hari, takut mengecewakan juga,” ungkapnya saat ditemui Rabu siang. Dia hanya punya sedikit waktu untuk mengobrol sebelum kembali kepada kesibukannya.

Dari kecil memang suka menari. Orang tua bilang, setiap ada musik, ditengok dikit-dikit nari. Jadi orangtua masukkan ke sanggar, belajar tari tradisi Simalungun.

Tapi Laura bahagia menjalaninya. Saat ini Laura betul-betul mendedikasikan hidupnya untuk tari. Bagi Laura, tari tak hanya ibarat detak jantung yang berdegup di setiap detik perjalanan hidupnya, tetapi juga tentang hidup baru dan kesempatan kedua usai tragedi besar memorakporandakan hidupnya.

”Dari kecil memang suka menari. Orangtua bilang, setiap ada musik, ditengok dikit-dikit nari. Jadi orangtua masukkan ke sanggar, belajar tari tradisi Simalungun,” tutur Laura.

Umur 5 tahun, dengan rambut bersanggul dan kostum tari gemerlap, Laura cilik sudah kerap tampil di panggung mengikuti berbagai pentas tari. ”Setiap kali ditanya cita-citanya apa, jawabannya selalu jadi penari. Jadi guru tari. Seputar itu aja,” imbuh Laura yang hingga remaja terus bergelut dengan dunia tari.

Di bangku SMA, kecintaan Laura pada dunia tari menemukan muaranya. Ia bertemu dengan guru tari di sekolahnya, SMAN 1 Pematang Raya, Riati Boru Purba yang merupakan tamatan Seni Tari Universitas Medan. Riati banyak berperan dalam perjalanan awal Laura di dunia tari.

Laura Tias Avionita Sinaga, pendiri Sanggar Tari Simalungun Home Dancer (Sihoda), menari bersama anak didiknya di Kompleks Museum Simalungun, Pematang Siantar, Sumatera Utara, Rabu (4/9/2024).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Laura Tias Avionita Sinaga, pendiri Sanggar Tari Simalungun Home Dancer (Sihoda), menari bersama anak didiknya di Kompleks Museum Simalungun, Pematang Siantar, Sumatera Utara, Rabu (4/9/2024).

”Ibu guru inilah yang ngasih tau bahwa Simalungun itu tarian kreasinya banyak, unik-unik, juga cantik-cantik. Dan entah kenapa aku memang setiap kali melihat ibu guruku menarikan tarian Simalungun aku kayak terbius. Cantik kali ya tari Simalungun itu. Rasanya bahagia kali setiap melihat ibu guruku itu menari tari Simalungun,” kenang Laura.

Ia lantas bergabung dengan Sanggar Tari Marilah. Bersama Marilah, Laura tampil di Jakarta, juga Malaysia. Kesempatan-kesempatan baru itu membuatnya semakin jatuh cinta pada dunia tari. Pemahamannya pada tari pun semakin dalam.

”Aku belajar dari guruku ini bahwa menari itu harus ikhlas. Tulus. Itu yang bikin aku makin menyadari bahwa menari itu sebenarnya enggak sekadar kayak yang orang tahu, hitungan 1 x 8 kita gerak, enggak. Di dalamnya banyak cerita, banyak hal yang bisa kita sampaikan. Lewat tarian kita bisa keluarkan ekspresi kita, misalnya kita enggak bisa ungkapkan rasa sedih atau lainnya, kita bisa ungkapkan kalau kita benar-benar bisa meluapkannya,” papar Laura.

Tahun 2013, Laura memantapkan diri melanjutkan kuliah di jurusan seni tari karena ingin fokus mendalami dunia tari. Khususnya tari-tarian Simalungun. Di sisi lain, melalui tarian, ia juga ingin memperkenalkan Simalungun yang menurut dia belum banyak dikenal orang. Selama ini menurut dia, orang mengenal Sumatera Utara hanya karena Toba.

Baca juga: Endo Suanda, Penguat dan Pelestari Seni Nusantara

”Tahun 2014 iseng bikin grup tari Sihoda, termotivasi oleh salah satu sanggar dari Samosir yang berhasil berangkat ke Jerman. Meski berasal dari daerah, tapi mereka berhasil bawa nama derahnya sampai ke Eropa,” ujarnya. Kelak, nama ini dipilih Laura menjadi nama sanggar tarinya, singkatan dari Simalungun Home Dancer. Nama ini dipilih karena Laura ingin sanggar tarinya menjadi rumah tempat belajar tentang segala hal dan tentang tari Simalungun.

Semasa kuliah di Universitas Medan, Laura aktif mengajak yunior-yuniornya yang sama-sama berasal dari Simalungun untuk bergabung di grup tarinya. Laura juga gigih mencari kesempatan agar mereka bisa tampil di berbagai acara meski tanpa dibayar. ”Nanti paling ongkosnya aku ganti. Karena kita sama-sama orang Simalungun, jadi mereka mau. Make-up aku juga yang bayar, juga sewa baju,” terang Laura.

Tahun 2015, Laura nekat membuat pergelaran tari di Universitas Simalungun karena di Simalungun tak pernah ada pergelaran tari. Selain memberi wadah dan merangsang kreativitas sanggar-sanggar tari yang ada di sana, ia terutama ingin memberikan penghargaan kepada para penari karena menurut dia, profesi penari kurang dihargai.

”Di Sumut penari cuma dijadiin selingan, kalau kayak penyanyi, artis, itu dihargai kali. Kami ini penari yang penting ada aja. Mau narinya enggak bener pun, yang penting dibayar terserah kualitasnya seperti apa. Padahal, kan, sama-sama seniman, bedanya cuma mereka penyanyi, kami penari,” kata Laura.

Laura Tias Avionita Sinaga, Pendiri Sanggar Tari Simalungun Home Dancer (Sihoda), menunggui anak didiknya yang sedang berlatih di Kompleks Museum Simalungun, Pematang Siantar, Sumatera Utara, Rabu (4/9/2024).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Laura Tias Avionita Sinaga, Pendiri Sanggar Tari Simalungun Home Dancer (Sihoda), menunggui anak didiknya yang sedang berlatih di Kompleks Museum Simalungun, Pematang Siantar, Sumatera Utara, Rabu (4/9/2024).

Untuk modal pergelaran tari itu, Laura menjual dua laptop dan satu tablet miliknya. Ia tak bisa mencari dana karena kala itu sanggarnya belum memiliki akta pendirian. Ia pun terpaksa meminjam uang dari orangtuanya untuk menyewa kostum. ”Waktu itu habis Rp 80 juta lebih,” ungkap Laura.

Meski acara sukses, Laura banyak mendapat kritik karena tarian yang ditampilkan tak hanya tari tradisional, tetapi juga tari kreasi baru dan tari-tari kontemporer berbasis tari-tari tradisional Simalungun. Prinsipnya, asal tak menyalahi pakem, Laura merasa tak salah. Di media sosial, namanya habis dicela.

”Tapi dasar aku, ada jiwa Batakku juga, parbada (keras kepala), ih sapa dia, aku gas aja. Aku dulu kayak gitu, sampai sekarang, sih, sebenernya. Karena aku dulu merasa emang enggak salah dan terbukti sampai sekarang akhirnya semua pada terima,” ujar Laura. Laura justru kemudian banyak berinteraksi dengan tokoh-tokoh Simalungun yang lantas memberikan dukungan karena dinilai aktif menyuarakan tari-tarian Simalungun.

Kecelakaan

Malang tak dapat diraih, untung tak dapat ditolak. Tahun 2017 tragedi menghampiri Laura. Ia yang menikah muda di usia 19 tahun mengalami KDRT. Ia juga mengalami keguguran. Peristiwa berlapis itu membuatnya berusaha mengakhiri hidup.

Meski akibatnya sangat fatal pada kondisi fisiknya, pinggulnya bergeser, tulang belakangnya berubah posisi, dan kaki kirinya patah hingga mengakibatkan kelumpuhan, Laura masih diberi umur. ”Itulah baiknya Allah, masih ngasih kesempatan. Memang yang kulakukan itu tidak benar, tetapi inilah, aku dikasih kesempatan hidup kedua sama Allah untuk memperbaiki semuanya,” kata Laura.

Itulah baiknya Allah, masih ngasih kesempatan. Memang yang kulakukan itu tidak benar, tetapi inilah, aku dikasih kesempatan hidup kedua sama Allah untuk memperbaiki semuanya.

Dengan kondisinya, dokter di tiga rumah sakit menyarankan kakinya diamputasi. Namun, orangtua Laura menolak dan memilih pengobatan alternatif. Akan tetapi, sejumlah tukang urut dan terapi yang didatangi pun menolak karena menilai kondisi Laura teramat parah. Di sela itu, ia masih harus mengurus perceraian.

Masa-masa itu menjadi masa paling suram dalam hidup Laura. Selama empat bulan, Laura bahkan tak bisa memakai baju sendiri. Dia juga harus dibantu kateter dan mengenakan popok. Ekonomi keluarganya pun morat-marit untuk biaya pengobatan yang tak sedikit.

Semangatnya bangkit ketika tanpa sengaja mendengar pembicaraan orangtuanya. ”Nanti kalau kita pigi duluan, si Lauranya sama siapa,” kenang Laura mengutip kata-kata ibunya.

Iklan
Laura Tias Avionita Sinaga, Pendiri Sanggar Tari Simalungun Home Dancer (Sihoda), saat ditemui di Pematang Siantar, Sumatera Utara, Rabu (4/9/2024).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Laura Tias Avionita Sinaga, Pendiri Sanggar Tari Simalungun Home Dancer (Sihoda), saat ditemui di Pematang Siantar, Sumatera Utara, Rabu (4/9/2024).

Laura makin tersadar setelah melihat orang-orang dengan kondisi serupa dengannya di media sosial, tetapi memiliki semangat hidup tinggi. ”Aku berpikir kayaknya aku masih bisa. Mungkin sekarang belum bisa duduk, tapi nanti pasti bisa. Kalau aku gini terus enggak ada yang akan bantu aku,” katanya.

Pada satu titik, ia juga percaya, meski banyak yang bilang apa yang dia lakukan itu salah, Tuhan punya hati yang luas dan sabar. ”Aku masih dikasih kehidupan sampai sekarang, artinya Tuhan masih mau aku memperbaiki hidupku. Berarti masih ada hadiah-hadiah yang disiapkan Tuhan setelah ini, tapi dengan syarat aku harus bangkit, harus semangat,” kenang Laura.

Mulailah Laura menyemangati diri. Setiap pagi ia belajar berdiri dengan berpegang pada jendela hingga lututnya bergoyang-goyang. ”Semuanya proses gitu aja. Enggak ada psikoterapi,” katanya.

Jalannya kembali terbuka ketika dia mendapat permintaan untuk tampil di sebuah kegiatan budaya. Semangat Laura pun mekar. Menggunakan platform FB, Laura merekrut enam penari dan melatih mereka meski dengan posisi tidur. Kesuksesan penampilan itu membuat nama Sihoda kembali muncul di permukaan.

Awal tahun 2018, dengan bantuan seorang teman, Sihoda resmi terdaftar sebagai Sanggar Tari. Laura juga sudah berani muncul di muka publik mengenakan kursi roda dan justru mendapat dukungan dari sesama pelaku seni dan budaya di Simalungun hingga akhirnya dia kembali dipercaya melatih Tari Masala dengan 160 penari untuk tampil di HUT Pematang Siantar. Di tahun yang sama, Laura juga diundang ke Sumenep melatih siswa-siswa SMP 15 Surabaya sebanyak 60 orang masih dari atas kursi roda.

Baca juga: Mulyani, Sepenuh Hati demi Bundengan dan Topeng Lengger

”Jadi semangatku ini juga enggak langsung ada. Berproses juga. Dari yang enggak pede keluar, pakai kursi roda, sampai pakai tongkat tahun 2023. Sekarang udah naik ojek pakai tongkat ke mana-mana sendiri,” katanya.

Ia tak menampik, saat sendiri, perasaannya masih kerap sedih. ”Aku, kan, bikin sanggar ini enggak langsung diterima masyarakat juga. Aku bahkan pernah dikatai pekarya gadungan. Melatih tarim kokm pincang, gimana ngelatih tarinya dia aja duduk di kursi roda. Sampai dibilang enggak tamat sarjana. Baru-baru ini aku dikatai cacat, sampai perhatikan cara jalanku. Tapi aku malah seneng karena kalau kayak gitu rezeki kita makin dibuka sama Allah. Kita ikhlas, jangan dendam,” imbuhnya.

Kondisi fisik Laura memang terbatas. Untuk duduk tegak kadang Laura merasa tak nyaman sehingga kerap harus ditopang dengan bantal. Akan tetapi dengan kondisi tubuh seperti itu pula, Laura kuat menari selama 12 jam setiap kali melakukan penggalangan dana.

Ia bahkan juga baru bisa melepas kateter dan popok tahun 2021 saat bersiap berangkat ke Turki. Obat penghilang rasa sakit hanya dia butuhkan saat cuaca dingin yang membuat tubuhnya terasa ngilu. ”Jadi percaya enggak percaya, sampai sekarang aku enggak ada berobatnya. Semuanya berjalan aja seperti ini sambil mengurus sanggar,” kata Laura.

Anak muda

Di sanggarnya kini, Laura memiliki 40 anggota usia remaja dan 30 anggota usia anak-anak. Ia mengajar tari kreasi baru dan tari kontemporer dengan basik tari tradisional Simalungun. Untuk anggota remaja, semuanya gratis. Sementara untuk anak-anak, karena ada pengajar khusus, ada biaya yang diterapkan.

Sanggar dipilih sebagai cara untuk menaungi anak-anak muda yang memang mencintai tari. ”Kalau di sekolah aku digaji, kewajibanku ngajar mereka dan anak-anak pun mau enggak mau wajib untuk belajar. Bukan karena mereka ingin, bukan karena mereka cinta dengan tarian,” papar Laura.

Laura Tias Avionita Sinaga, Pendiri Sanggar Tari Simalungun Home Dancer (Sihoda), saat ditemui di Pematang Siantar, Sumatera Utara, Rabu (4/9/2024).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Laura Tias Avionita Sinaga, Pendiri Sanggar Tari Simalungun Home Dancer (Sihoda), saat ditemui di Pematang Siantar, Sumatera Utara, Rabu (4/9/2024).

Ia sengaja memberi wadah bagi anak-anak muda karena ia melihat anak-anak muda saat ini seperti salah kaprah. Mereka mengembangkan budaya luar yang dianggap lebih keren, sementara orang luar tidak melakukan hal yang sama terhadap budaya kita.

”Malu enggak? Sementara budaya kita kaya. Kalau negara lain satu negara satu budaya, kalau kita kaya sekali. Makanya, pakaiannya, tariannya, semuanya. Dan ini identitas, keunikan yang enggak dipunyai orang lain. Jadi siapa yang mau kembangin ini. Anak muda telanjur tertutup dengan istilahnya kalau kita belajar budaya itu jadi katrok, padahal enggak,” kata Laura.

Karena itu, perlu cara dan strategi yang tepat agar anak muda tertarik belajar budaya. ”Anak muda ini, kan, enggak mau yang monoton. Maunya yang menggeberak. Jadi yang pasti, asal tidak menyalahi adat, menurutku tidak salah,” ujarnya.

Baca juga: Kartolo, Maestro Jula Juli dari Prigen

Ia juga tak lelah untuk selalu mengingatkan bahwa dengan masuk ke sanggar, akan serta-merta mendapat uang. Tapi lebih dari itu adalah ilmu dan pengalaman yang bisa diperoleh dari menari yang jauh lebih berharga dari uang.

Nari di wedding dibayar Rp 200.000, nari di festival bisa dapat bayak link, kenalan sama penari-penari dari luar, bisa belajar budaya dari mereka juga, terus bisa turut melestarikan budaya Simalungun dengan menari Simalungun walaupun istilahnya hanya dengan menari, sekecil itu,” katanya. Ia senang, beberapa anak sanggarnya kemudian ada yang melanjutkan kuliah di ISI jurusan tari.

Untuk karya-karyanya, Laura banyak melakukan riset ke kampung-kampung dan menggali banyak informasi dari para pemangku adat dan cendekiawan Simalungun. Hasilnya kemudian didokumentasikan dan diolah menjadi koreografi tari baru. Semua dilakukan tanpa ada perasaan lelah atau terpaksa.

”Untuk nari, untuk Simalungun aku enggak pernah capek. Mungkin karena aku belajar melakukan semuanya itu ikhlas aja. Aku juga percaya hasilnya. Ibaratnya aku berbudaya jangan ada tujuan biar dilihat orang biar job-ku banyak, uangku banyak terus aku terkenal. Arah tujuanku, kan, memang mau bikin Simalungun terkenal. Jadi, kembali ke tujuannya. Kalau kita nikmati proses kita, perjalanan kita yang memang bukan tujuan pribadi tapi tujuan bersama, insya Allah hasilnya enggak akan pernah mengkhianati,” katanya.

Bagi Laura, kekurangan, keterbatasan, ataupun hal-hal yang menghalangi tidak akan menjadi halangan apabila kita mau berjuang di situ. Dengan segala sepak terjangnya, Laura berharap Simalungun terus dikenal orang dan terus berbicara dan tersampaikan kepada banyak orang.

”Aku ingin enggak hanya aku yang sejatuh cinta ini sama budayanya. Kalau enggak bisa di lingkup besar, paling enggak anak-anak di sanggarku makin cinta sama budayanya,” harapnya.

Laura Tias Avionita Sinaga, Pendiri Sanggar Tari Simalungun Home Dancer (Sihoda), menunggui anak didiknya yang sedang berlatih di Kompleks Museum Simalungun, Pematang Siantar, Sumatera Utara, Rabu (4/9/2024).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Laura Tias Avionita Sinaga, Pendiri Sanggar Tari Simalungun Home Dancer (Sihoda), menunggui anak didiknya yang sedang berlatih di Kompleks Museum Simalungun, Pematang Siantar, Sumatera Utara, Rabu (4/9/2024).

Melalui cerita hidupnya yang penuh rintangan, ia berharap anak-anak muda seperti dia, terbatas ekonomi dan terbatas fisik (disabilitas), tetap punya keinginan besar untuk meraih mimpi. Memanfaatkan hidup untuk terus berkarya, membuat sesuatu yang baik dan positif.

Satu mimpinya kini adalah ingin menyelanggarakan festival tari internasional di Simalungun. Begitu juga dengan kesetaraan bagi penyandang disabilitas, Laura kini tengah gencar menyuarakan hak-hak mereka.

Laura Tias Avionita Sinaga

Lahir: Pematang Siantar, 27 Januari 1997

Pendidikan:

  • SD Negeri 068082 Batu Dua Puluh
  • SMPN 7 Pematang Siantar
  • SMAN 1 Pematang Raya
  • Jurusan Seni Tari, Universitas Medan, sampai semester 6

Judul karya (antara lain) :

  • Multietnis Siantar
  • Multietnis Sumut
  • Halobitangan
  • Sihol
  • Tortor Sima
Editor:
BUDI SUWARNA
Bagikan