Mulyani, Sepenuh Hati demi Bundengan dan Topeng Lengger
Mulyani memaknai seni tradisi sebagai jalan hidup. ”Bundengan” dan ”topeng lengger” jadi jalurnya membaktikan diri.
Bagi Mulyani, seni tradisi adalah jalan hidup. Kesetiaannya menggeluti ”bundengan” dan ”topeng lengger” boleh jadi bukti. Memang, jalan yang mesti dilaluinya terjal dan berliku. Namun, rasa cinta selalu menguatkannya untuk menjaga kesenian rakyat itu terus berdenyut melintasi zaman.
Mulyani menata sejumlah bundengan melingkari ruang kelasnya di SMP Negeri 2 Selomerto, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, Selasa (3/9/2024). Setelahnya, ia masuk ke bagian tengah dari salah satu alat musik yang wujudnya menyerupai cangkang kura-kura besar itu. Tak berselang lama, terdengarlah petikan dawai repetitif yang meneduhkan.
Saat ini kondisinya sudah berbeda. Banyak anak muda tahu dan mau belajar. Dulu, tidak ada anak muda yang kenal bundengan. Bahkan, sekadar menengok saja seperti tak mau.
”Begini cara memainkannya. Tidak usah terburu-buru. Dipetik pelan-pelan saja pakai tangan kanan. Coba dirasakan iramanya,” ujar Mulyani kepada murid-muridnya.
Hanya lima menit, Mulyani mencontohkan cara bermain bundengan kepada murid-muridnya. Sesaat kemudian, ia meminta mereka saling bergantian mencoba alat musik berbahan bambu itu. Sembari menanti giliran memainkan bundengan, sebagian murid menyanyikan lagu dolanan anak berjudul ”Padhang Bulanan”.
Suasana kelas berubah meriah. Wajah murid-murid semringah. Antusiasme terpancar pada raut bocah-bocah yang tiba jatahnya memetik dawai dari dalam cangkang bambu itu. Keceriaan bertahan sampai kelas selesai.
Baca juga:Suara Ibu Pertiwi dari Tembi
”Saat ini kondisinya sudah berbeda. Banyak anak muda tahu dan mau belajar. Dulu, tidak ada anak muda yang kenal bundengan. Bahkan, sekadar menengok saja seperti tak mau,” kenang Mulyani.
Terekam dalam memori Mulyani kali pertama ia membawa bundengan ke sekolah tempatnya mengajar, akhir 2015 silam. Bundengan dipajangnya di dekat gerbang masuk sekolah setiap pagi. Sesekali, ia memainkannya sembari menanti bel masuk dibunyikan. Sayangnya, murid-murid hanya berjalan sambil lalu melewatinya.
Mulyani tak kehabisan akal. Ia memanfaatkan posisinya sebagai guru seni budaya. Bundengan diusulkan menjadi subtema dari mata pelajaran yang diampunya. Usulan itu disetujui kepala sekolah dan dipertahankan hingga kini.
”Sekarang hanya kami satu-satunya sekolah yang mengajarkan bundengan. Tidak hanya di Wonosobo, tetapi di dunia he-he-he,” ujar Mulyani, yang mengajar di sekolah itu sejak 1998.
Baca juga: DY Suharya, Menjadi Sinar Matahari bagi Orang dengan Alzheimer
Menengok ke belakang, minat Mulyani mendalami bundengan baru muncul pada pertengahan 2015. Saat itu, ia menonton pertunjukan seni dalam rangka hari jadi Kabupaten Wonosobo. Kebetulan bundengan ditampilkan. Hanya saja, Mulyani lebih dahulu mengenal bundengan sebagai penutup kepala yang biasa digunakan penggembala bebek.
Ia takjub begitu menyaksikan rangkaian bebunyian unik keluar dari alat itu. Lebih menarik lagi baginya, bebunyian itu sering digunakan untuk mengiringi tarian topeng lengger yang ditekuninya selama ini.
Langkah awalnya dimulai dengan menemui maestro bundengan bernama Munir. Sang maestro dimintanya mengajar bundengan pada sanggar tari yang ia kelola bersama sejumlah rekannya, yakni ”Ngesti Laras”. Sewaktu awal dibuka, murid peminatnya sedikit, hanya dua orang.
Kendati demikian, Mulyani tetap semangat menularkan virus bundengan. Jangkauan pelatihan kesenian itu diperluas hingga keluar lingkup sanggarnya. Kondisi lapangan yang ditemuinya justru kian memprihatinkan. Bahkan, anak-anak muda yang tinggal sekampung dengan Munir, sang maestro bundengan, juga tak mengenali alat musik warisan budaya tersebut.
Baca juga: Saptoyogo Purnomo, Tak Lelah Meraih Mimpi
”Bundengan ini alat musik khas Wonosobo. Kenapa tidak banyak yang bisa memainkannya? Saya tambah termotivasi buat belajar dan mengenalkannya. Setidaknya biar anak-anak muda ini bisa tahu,” ujar Mulyani.
Bergumul dengan bundengan menyadarkan Mulyani akan persoalan lainnya. Perajin alat musik itu ternyata cukup langka. Salah seorang yang pernah dikenalnya bernama Mahrumi. Sayang, sosok itu sudah wafat pada 2022.
Beruntung upaya regenerasi sempat terjadi. Semasa Mahrumi hidup, Mulyani mendorong adiknya yang juga perajin bambu untuk ”nyantrik” kepada sosok tersebut. Segala biaya ”nyantrik” ditanggungnya.
”Seiring semakin dikenalnya bundengan, sekarang pembuatnya sudah bertambah. Ada beberapa yang muda-muda, termasuk adik saya,” kata Mulyani.
Ekstrem
Terkadang, cara Mulyani memperkenalkan bundengan terbilang ekstrem. Sekali waktu, ia pernah berjalan mondar-mandir mengelilingi Alun-alun Wonosobo sambil menggotong bundengan. Namun, tidak ada orang yang memperhatikannya.
Sampai akhirnya, Mulyani melihat polisi kenalannya tengah bertugas di sekitaran alun-alun. Kenalannya itu ia minta rehat sejenak sambil menontonnya memainkan bundengan. Setelah itu, baru orang-orang yang kebetulan melintas mau merapat.
Di lain kesempatan, Mulyani nekat mengetuk pintu-pintu kantor pemerintah daerah untuk menanyakan adakah kegiatan yang bisa diisi dengan penampilan bundengan. Sering kali, jawaban yang diperolehnya malah perihal tidak adanya anggaran pementasan.
”Buat saya tidak penting uangnya. Yang penting anak-anak bisa pentas. Dengan begitu, bundengan bisa dikenal semakin banyak orang,” ujar Mulyani.
Kegetolan Mulyani mendatangkan bundengan ke berbagai panggung terbayarkan. Saat ini, pihaknya telah bekerja sama dengan sebuah hotel untuk menggelar pentas bundengan bulanan. Penampilnya ialah anak-anak didik dari sanggarnya.
Latar belakang Mulyani selaku penari topeng lengger memberikan warna tersendiri dalam pelestarian bundengan. Unsur bundengan beberapa kali ia masukkan dalam karyanya. Entah itu sekadar dijadikan properti tari ataupun musik pengiring. Beberapa karya itu antara lain Tari Bundengan (2017), Tari Ginanjar Mulyo (2018), Wayang Bundengan (2018), dan lain-lain.
Bersama Mulyani, bundengan juga telah dibawa melawat ke sejumlah negara. Setidaknya ada tiga negara yang pernah dikunjungi, yaitu Australia, Thailand, dan Jerman. Ia terkadang nekat membawa bundengan meski tidak ada agenda pementasan bundengan dalam acara yang diundangnya.
Buat saya tidak penting uangnya. Yang penting anak-anak bisa pentas. Dengan begitu, bundengan bisa dikenal semakin banyak orang.
Pada 2023, misalnya, film pendek yang dibintangi Mulyani masuk nominasi lomba dalam festival film, di Berlin, Jerman. Sebenarnya, film itu bercerita tentang tari. Bundengan hanya tampil sejenak sebagai properti.
”Saya bawa bundengan buat dipamerkan ketika kami jalan-jalan. Ternyata banyak orang tanya-tanya dan penasaran. Dari situ, mereka tahu kalau Indonesia itu tidak hanya Bali saja,” kata Mulyani.
Seni tradisi dan takdir
Mulyani kecil mengenal seni tradisi sewaktu duduk di bangku SD. Ketika itu ia sekadar mengikuti ekstrakurikuler tari tradisional. Saking senangnya dengan kegiatan itu, ia sempat bercita-cita menjadi guru tari ketika dewasa. Namun, ucapannya kala itu sebenarnya hanya sambil lalu.
Semasa SMP hingga SMA, Mulyani dan seni tari tak lagi dekat. Hari-harinya lebih banyak dihabiskan untuk belajar. Tempat tinggalnya jauh dari sekolah yang berada di pusat kota. Jaraknya sekitar 20 kilometer. Untuk mengakses sekolah, ia pun mesti berjalan sejauh 9 kilometer terlebih dahulu agar bisa mendapat angkutan umum.
Pada 1986, Mulyani lulus SMA. Awalnya ia ingin melanjutkan kuliah ke jurusan ilmu pasti. Dua kesempatan awal digunakannya untuk mendaftar ke jurusan Teknologi Peternakan di Universitas Diponegoro dan Teknologi Pertanian di Universitas Jenderal Soedirman. Ia tak diterima di dua kampus itu.
Mulyani memilih jurusan yang jauh berbeda pada kesempatan ketiganya mendaftar kuliah. Pilihannya dijatuhkan pada jurusan pendidikan seni tari di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta, yang sekarang bernama Universitas Negeri Yogyakarta. Bagaikan takdir, ia justru diterima di sana.
”Sewaktu diterima, baru saya ingat lagi. Bahwa seni tari memang panggilan saya. Memang, seharusnya saya bergelut dalam dunia ini,” tutur Mulyani.
Baca juga: Sontoloyo Merayakan Hari Musik
Sejak saat itu, hari-hari Mulyani hanya diisi seni tari. Setelah merampungkan pendidikan diplomanya, pada 1989 ia kembali ke kampung halaman dan berkecimpung dalam dunia tersebut lewat Sanggar Tari ”Ngesti Laras” serta melatih ekstrakurikuler di sejumlah sekolah.
Di era-era awal kiprahnya, perhatian Mulyani terarah ke topeng lengger yang mulai dijauhi anak-anak muda. Ia pun berinisiatif membuat tari kreasi baru yang dasar gerakannya diambil dari tari lengger. Cara itu digunakannya agar generasi muda berminat menarikannya.
Lewat tari, Mulyani dipertemukan pula dengan anak-anak tunarungu. Selama 1992-2020, ia mengajar ekstrakurikuler tari pada yayasan pendidikan tunarungu, yakni ”Dena Upakara”. Tawaran mengajar disetujuinya tanpa pikir panjang. Baginya, itu cara lain membaktikan diri bagi seni tari lebih luas lagi.
Cinta itu mengalahkan segalanya. Saya rela berkorban karena mencintai tari dan bundengan. Dengan cinta, saya memahami bahwa seni tradisi ini sarana untuk mewartakan kebaikan dari apa yang dititipkan Tuhan.
Sepenuh cinta dicurahkan Mulyani untuk melatih anak-anak tunarungu. Meski pendengaran mereka kurang, Mulyani berhasil membuat anak-anak itu melenggak-lenggok ikut irama iringan lagu. Bahkan, ia sempat membawa mereka pentas pada panggung nasional sekelas Taman Mini Indonesia Indah.
Jatuh bangun sudah dirasakan Mulyani selama menggeluti dunia seni tradisi. Bahkan, pahitnya lebih banyak. Kisah tentang menombok anggaran pentas hingga kekurangan material seakan lagu lama yang tak pernah selesai. Tetapi, itu semua terobati ketika menyaksikan sendiri lestarinya seni tradisi.
”Cinta itu mengalahkan segalanya. Saya rela berkorban karena mencintai tari dan bundengan. Dengan cinta, saya memahami bahwa seni tradisi ini sarana untuk mewartakan kebaikan dari apa yang dititipkan Tuhan,” kata Mulyani.
Baca juga: Vera Nofita, Menukar Sampah dengan Emas
Mulyani
Lahir: Wonosobo, 12 Juli 1965
Riwayat pendidikan:
- SMA N 1 Wonosobo (1984-1986)
- IKIP Yogyakarta-Diploma III (1986-1989)
- Universitas Negeri Yogyakarta-S1 (2006-2008)
Penghargaan:
- Piagam Kebudayaan Bupati Wonosobo (2015)