Joko Pinurbo, Tamasya Rohani dalam Puisi
Tulisan ini dimuat ”Kompas” pada Minggu, 22 Januari 2012. Dimuat ulang untuk mengantar kepulangan Joko Pinurbo.
…dompetku sedang twit, Tuhan sayang
Sehingga aku lupa sembahyang
Tuhan aku twit Kau setiap malam
Tapi Kau bilang doaku masih terlampau panjang…
Penyair Joko Pinurbo memungut ungkapan terkenal ”Cogito Ergo Sum” dari filsuf Rene Descartes untuk menyatakan kecintaannya pada puisi dan eksistensinya sebagai penyair. Ia bilang, ”Aku nulis puisi, maka aku ada.” Kalimat ini pelesetan dari pernyataan Descartes tadi, ”aku berpikir maka aku ada”.
Pelesetan Joko kelihatan sekadar main-main, tetapi ia main dengan sungguh-sungguh. ”Aku tidak membayangkan siapa diriku kalau tidak menulis puisi,” katanya. Pernyataan ini sedikit menyentak. Joko sedang berada di sela-sela acara #Dialog3Akun yang diselenggarakan komunitas sastra di jejaring sosial Twitter, 30 Desember 2011. Sebuah forum yang boleh jadi kalau dulu dicap ngepop. Baginya, pelesetan itu semacam pernyataan eksistensial, di mana setiap manusia membutuhkan medium untuk memperlihatkan siapa dirinya. Begitu pun para pegiat sastra di jejaring sosial itu. Mereka bukan siapa-siapa dalam dunia sastra. Mungkin lantaran itu membutuhkan medium semacam #Dialog3Akun untuk menyatakan keberadaannya.
Penggalan puisi berjudul ”Twit” itu terkesan main-main walau dibarengi dengan rima yang menawan. Tetapi, begitulah cara penyair asal Yogyakarta ini memasuki puisi, dunia sunyi, yang tak menawarkan apa-apa kecuali kecintaan yang keras kepala.
”Puisi memang butuh orang-orang yang nekat karena ia tak menjanjikan kecukupan ekonomi. Butuh orang yang keras hati, keras kemauan, dan pemberani. Anehnya, pada setiap periode selalu ada orang-orang seperti ini,” kata Joko.
Jelas Jokpin, demikian ia biasa disapa di komunitas sastra, salah satu dari orang yang nekat itu. Ia menyair sejak tahun 1979, tetapi kumpulan puisi pertamanya berjudul ”Celana” baru diterbitkan tahun 1999. Artinya, ia menjalani masa sepanjang 20 tahun sebelum akhirnya memiliki sebuah antologi. Itu pun ia masih merasa harus menahan malu karena ”Presiden Malioboro” penyair Umbu Landu Paranggi sampai sekarang memilih tidak menerbitkan antologi puisi. Padahal, Umbu, yang kini menetap di Bali, terus-menerus melahirkan penyair dan puisi.
Dalam jagat kepenyairan Tanah Air, Joko Pinurbo ibarat tetes embun yang bergulir di atas daun. Sejak era 1970-an mazhab kepenyairan Indonesia seolah tak bisa lepas dari pengaruh empat kekuatan besar: Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Gunawan Mohammad, dan Sapardi Djoko Damono. Belakangan, cengkeraman Gunawan dan Sapardi (keduanya masih aktif menulis) terhadap penyair-penyair berikutnya semakin sulit dilepaskan.
Jokpin punya cara yang unik untuk melepaskan diri. Ia belajar dari embun di atas daun, yang bergulir lalu menetes pelan memberi kesuburan. Sebelum melahirkan kumpulan ”Celana”, ia memetakan wilayah kepenyairan dari gaya, idiom, metafor, diksi, sampai berbagai teknik penyair terkemuka sejak era Amir Hamzah, Chairil Anwar, dan Sapardi.
Pemetaan itu membuat ia justru kembali kepada realitas kehidupan sehari-hari masyarakat Yogyakarta. ”Orang Jogja itu kan selalu saru antara main-main dan sungguhan,” kata Jokpin. Berangkat dari situ, ia menciptakan satu gaya berpuisi yang naratif, ringan, renyah, tetapi tidak kehilangan simbolisme dan daya harunya yang menyentuh. Jokpin sering memainkan logika-logika mengejutkan yang tampak absurd, tetapi kemudian kita tersenyum dibuatnya. Coba saja simak deretan kalimat ini: //Ia gemetar naik ke ranjang/sebab menginjak ranjang serasa menginjak/rangka tubuh ibunya yang sedang sembahyang/Dan bila sesekali ranjang berderak atau berderit/serasa terdengar gemeretak tulang/ibunya yang sedang terbaring sakit// (Ranjang Ibu).
Terakhir Anda memutuskan berhenti bekerja dan secara penuh melakoni hidup sebagai penyair. Apa sih yang ditawarkan puisi?
Idealismeku, puisi memberi tawaran penyegaran terhadap bahasa. Tidak bisa dibayangkan jika satu bangsa tanpa penyair. Pasti bahasanya akan mandek. Begitu juga bangsa tanpa bahasa akan mati. Di situ peran penyair dibutuhkan. Kamus kita sekarang sudah mati juga. Maka, tugas penyair yang pertama-tama memberi penyegaran kepada bahasa kita, harus terus….
Masa cuma bahasa, terlampau kecil tampaknya tugas puisi?
Lho iya ndak. Puisi berisi refleksi hidup. Bagaimana kita melatih rasa damai menghadapi situasi. Selain itu, tentu membuat kita juga menjadi lebih kontemplatif. Hidup sekarang sudah keras. Maka, sesekali kita bertamasya rohani lewat puisi, itu akan menyegarkan, seperti minum air kelapa ijo… ha-ha-ha….
Maksud Anda dengan tamasya rohani itu?
Puisi memang tidak sama dengan agama. Ia memberi universalitas yang bersifat transenden. Pembacanya bisa berkelana menyelami pengalaman hidup yang tingkat permenungannya tinggi hingga sungguh mengasyikkan.
Kalau toh ada, apa ya tugas penyair dan puisi dalam kehidupan berbangsa sekarang ini?
Wah, itu pertanyaan berat. Puisi bukan benda padat yang bisa dipegang. Ia bergerak di jalur rasa. Tetapi, setidaknya puisi bisa menawarkan empati dan itulah yang sepertinya hilang dalam pergaulan kita sekarang.
Baik kalau begitu. Bahasa kita sekarang ini dikooptasi para politisi dan pengacara yang lihai berdebat dan bersilat lidah. Menurut Anda, di mana wilayah kerja para penyair kalau begitu?
Ini lebih berat. Bahasa pengacara dan politisi itu tidak memiliki nuansa dan tidak mengandung empati. Kalaupun berempati, itu aku pastikan semu. Di situlah lahan penyair, termasuk tentu para penulis di Twitter, menggunakan bahasa yang tidak hanya secara penalaran membuka wawasan orang, tetapi mengandung nilai empati dan sugesti. Satu metafor yang keren bisa membuat orang tercenung. Sekarang ini toleransi di negara kita masih menjadi persoalan. Bukan dalam konteks sempit antaragama, tetapi toleransi perdamaian dan budaya cinta kasih yang kurang sekali. Puisi tidak menjanjikan itu, tetapi memberi jika kita terus mendekat….
Manfaat puisi menurut Anda?
Di luar soal manfaat puisi seperti yang aku sebut itu, puisi beri keseimbangan batin dan melatih imajinasi. Aku tak bisa membayangkan jika satu bangsa tidak memiliki imajinasi, pasti tidak kreatif. Dan imajinasi bukan sesuatu yang terberi, tetapi sesuatu yang harus diperjuangkan. Puisilah mediumnya. Selain itu, yang terpenting pula, puisi melatih kecendekiaan. Seorang intelektual yang memahami puisi akan dengan sendiri terlihat lebih cendekia dibandingkan yang cuma paham soal-soal keilmuan.
Peran kritikus
Joko Pinurbo berkenalan dengan puisi sejak muda. Ia sudah menulis puisi semasa sekolah di Seminari Mertoyudan Magelang, Jawa Tengah. Kebiasaan itu kemudian lebih terasah ketika ia menerima beasiswa untuk kuliah IKIP (Universitas) Sanata Dharma Yogyakarta, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Kehebatannya sebagai penyair baru diakui ketika antologi puisinya, Celana, ia terbitkan tahun 1999 setelah 20 tahun masa kepenyairannya berjalan. Sejak itu, lahir kumpulan-kumpulan puisinya yang menarik perhatian banyak kritikus. Ia kemudian menerbitkan antologi Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2002), Telefon Genggam (2003), Kekasihku (2004), Pacar Senja (2005), Kepada Cium (2007), Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung (2007).
Eksistensi kepenyairannya itu kemudian menuai penghargaan, seperti Hadiah Sastra Lontar (2001), Sih Award (2001), Tokoh Sastra Pilihan Tempo (2001), Penghargaan Sastra Pusat Bahasa (2002), dan Khatulistiwa Award (2005). ”Ini semua hanya bonus,” kata Jokpin mengenai penghargaan yang diterimanya.
Baca juga: Puisi-puisi Joko Pinurbo
Apa Anda sepakat jika dikatakan sastra kita sekarang sedang mandek?
Ya setelah perdebatan Sastra Kontekstual dan Sastra Pedalaman di tahun 1980-an dan 1990-an, tak ada lagi gerakan sastra yang menyita perhatian banyak kalangan. Terakhir, gerakan seperti #Koinsastra sebenarnya bisa dicatat. Tetapi, gerakan ini cuma memancing perhatian publik sebentar. Ia berbeda dengan debat-debat sebelumnya yang mencoba merumuskan estetika sastra kita.
Belakangan, kata Jokpin, ia merasa industri tidak sepenuhnya menerima puisi. Penggemar puisi banyak, terbukti dari berbagai acara sastra yang selalu dipadati pengunjung. Bahkan, di jejaring sosial, seperti Twitter dan Facebook, terdapat beberapa akun yang khusus menampung karya sastra. ”Anehnya, buku-buku sastra, terutama puisi, sulit dijual….” Kecenderungan ini menunjukkan, kata Jokpin, industri kurang berani berinvestasi di dunia sastra. ”Mana mungkin penyair harus turun gelanggang turut mempromosikan karyanya. Tugasku menulis…,” tutur Jokpin.
Soal kemandekan sastra itu, menurut Anda, di mana masalahnya?
Kritik sastra kita sudah lama semaput. Itu artinya dunia akademis kita wajib dipertanyakan. Keadaannya selalu dibalik, kritikus kita menunggu karya besar lahir baru mengkaji. Harusnya kritikuslah yang mengkaji dan membuktikan satu karya besar atau tidak. Itulah yang dulu diperankan dengan baik oleh Pak HB Jassin.
Sekarang ini, kata Jokpin, karya-karya terus ditulis, tetapi tak pernah dibicarakan para kritikus. Justru para penyair sibuk sejak menerbitkan bukunya sendiri sampai mempromosikan bukunya ke berbagai acara. ”Ada yang tidak jalan. Bukan semata persoalan sastra, tetapi sudah menyangkut soal kepekaan kemanusiaan kita yang tumpul,” ujar Jokpin.
Baca juga: Joko Pinurbo Meninggal, Indonesia Kehilangan Penyair Terbaik
Tugas dan misi sastra, menurut Jokpin, mengembalikan kepekaan kemanusiaan manusia modern yang kian tergerus kelatahan industri. Fenomena sastra Twitter dan Facebook harus dimanfaatkan secara baik untuk menjembatani relasi antarmanusia yang kian rapuh.
Pandangan inilah yang di antaranya membuat Jokpin membuka akun Twitter (a)jokopinurbo sejak 4 Januari 2012, beberapa hari setelah ia membacakan puisi di perhelatan #Dialog3Akun yang digelar di Bentara Budaya Jakarta (BBJ).
Terakhir, apa yang membuat Anda tetap optimistis melakoni hidup sebagai sastrawan di negeri ini?
Aku berharap segalanya menjadi berarti pada waktunya. Penyair cuma bisa memberi kata-kata, maka biarlah kata-kata yang menjadi pegangan kita semua. Tak lebih....
Kok kelihatannya malah pesimistis?
Konkretnya, sudah waktunya negara memberi jaminan kesehatan bagi para sastrawan, ha-ha-ha. Sudah banyak bukti sastrawan kita hidupnya serba melarat di masa tuanya. Berobat saja tidak mampu.... Mengenaskan, benar-benar mengenaskan....
Joko Pinurbo
• Lahir: Sukabumi, 11 Mei 1962
• Istri: Nurnaeni A Firmina (45)
• Anak: Paskasius Wahyu Wibisono (20) dan Maria Azalea Anggraeni (18).
• Pendidikan: - Seminari Mertoyudan Magelang, Jawa Tengah- Jurusan Sastra dan Bahasa Indonesia, IKIP (Universitas) Sanata Darma Yogyakarta
• Prestasi: Hadiah Sastra Lontar (2001), Sih Award (2001), Tokoh Sastra Pilihan Tempo (2001), Penghargaan Sastra Pusat Bahasa (2002), Khatulistiwa Award (2005)