Lingkungan
Privatisasi Pulau-pulau Kecil Rentan Picu Konflik dan Ancam Ekologi
Praktik privatisasi pulau-pulau kecil rentan mengancam keberlangsungan nilai sosial budaya masyarakat dan mengancam keberagaman biodiversitas wilayah kepulauan.
![Laut di pesisir Desa Sukarela Jaya di Wawonii Tenggara, Konawe Kepulauan, yang tercemar lumpur, Kamis (1/6/2023). Kondisi ini terjadi diduga kuat akibat aktivitas pertambangan nikel.](https://assetd.kompas.id/XWHpJzpbZBoKW8EA6A4LHFlOFMg=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F06%2F12%2F4786892d-1fc0-4399-bfeb-97adfec712fc_jpeg.jpg)
Laut di pesisir Desa Sukarela Jaya di Wawonii Tenggara, Konawe Kepulauan, yang tercemar lumpur, Kamis (1/6/2023). Kondisi ini terjadi diduga kuat akibat aktivitas pertambangan nikel.
Pulau-pulau kecil sering kali dipandang hanya sebagai komoditas ekonomi yang dapat diperdagangkan. Padahal, praktik privatisasi pulau-pulau kecil ini rentan mengancam keberlangsungan nilai sosial budaya dan mengancam keberagaman biodiversitas wilayah. Pengawasan pemerintah terhadap pengelolaan pulau yang diprivatisasi ini diperlukan untuk menjaga kelestarian ekologi.
Berdasarkan catatan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), hingga pertengahan tahun 2023, ditemukan setidaknya 226 pulau kecil yang diprivatisasi di seluruh Indonesia. Praktik privatisasi ini antara lain berupa transaksi jual-beli yang berujung pada pengelolaan dan pemanfaatan pulau oleh perseorangan atau perusahaan tertentu. Tujuan transaksi ini beragam, mulai dari investasi pariwisata, konservasi, hingga pertambangan.