logo Kompas.id
β€Ί
Risetβ€ΊPemulung, antara Berkah dan...
Iklan

Pemulung, antara Berkah dan Stigma

Sebagian masyarakat menganggap kehadiran pemulung di lingkungan mereka bisa memunculkan rasa tidak aman, baik ancaman terhadap kriminalitas maupun bahaya tertular berbagai penyakit khususnya Covid-19.

Oleh
ANTONIUS PURWANTO
Β· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/RH7KnlpWqY0Dyjdp4qgsiuAQR84=/1024x697/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2F20200510TAM-05_1589114416.jpg
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA

Pemulung menarik gerobok di Jalan RE Martadinata pada hari ke-14 pembatasan sosial berskala besar atau PSBB di Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (5/5/2020). Pemulung rentan tertular Covid-19 karena tetap memungut sampah selama pandemi, tetapi minim pelindung diri untuk memenuhi syarat kebersihan.

Kehadiran pemulung di Indonesia ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi pemulung dianggap membantu penanganan sampah dan mata rantai pertama dari industri daur ulang. Di sisi lain pekerjaan sebagai pemulung masih dipandang sebelah mata oleh sebagian orang.

Pemulung menurut Kementerian Sosial digambarkan sebagai golongan sosial yang memiliki usaha mengumpulkan dan memungut barang bekas di berbagai tempat permukiman, pertokoan, dan pasar untuk didaur ulang atau dijual kembali, sehingga memiliki nilai ekonomis.

Editor:
bimasakti
Bagikan