logo Kompas.id
Politik & HukumPerihal Kritik dan Respons...
Iklan

Perihal Kritik dan Respons Istana terhadap Kritik

Jubir Presiden menyebut dalam tradisi demokrasi, kritik merupakan upaya menciptakan dialog setara dan komunikasi timbal balik di antara aktor-aktor. Lantas apa kata peneliti komunikasi soal komunikasi politik pemerintah?

Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono/Suhartono
· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/Mu1O9sqx-JiX_ZGo5SXUocx4D28=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F07%2F4cd3f1b2-4285-4c26-97b8-93f48c7251fa_jpg.jpg
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Pagar kawat berduri yang dipasang di Jalan Majapahit, Jakarta, Sabtu (24/7/2021). Pengetatan penjagaan dan penutupan akses jalan menuju Istana Merdeka dilakukan polisi terkait rencana aksi para pengemudi ojek daring berdemonstrasi di kawasan tersebut.

Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi M Fadjroel Rachman pada Senin, awal Agustus 2021, menyampaikan rilis media dengan judul ”Kritik itu Jantung Kemajuan Demokrasi, Iptek, dan Masyarakat”. Dia juga menekankan kembali bahwa perjuangan Reformasi 1998 adalah perjuangan untuk menegaskan bahwa kritik merupakan jantung kemajuan demokrasi, ilmu pengetahuan, dan masyarakat tersebut.

Fadjroel menuturkan bahwa bangsa Indonesia menempatkan kritik di jantung konstitusi, yakni Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, khususnya pada Pasal 28. Tertulis di pasal tersebut bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

Editor:
Antony Lee, Madina Nusrat
Bagikan