logo Kompas.id
β€Ί
Politik & Hukumβ€ΊBipang Ambawang, Sensitivitas ...
Iklan

Bipang Ambawang, Sensitivitas Konteks, dan Distorsi Pesan

Ajakan untuk bangga menggunakan produk lokal ditanggapi negatif lantaran kurang tepat mengaitkan konteks. Manajemen komunikasi pemerintah perlu diperbaiki, terutama menyangkut sensitivitas pesan untuk publik.

Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
Β· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/_QXuwkMDMEKQZzAAczav719ywVA=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F05%2FSambutan-Presiden-Joko-Widodo-di-Hari-Bangga-Buatan-Indonesia_1620473624.png
TANGKAPAN LAYAR

Tangkapan layar dari akun Youtube Kementerian Perdagangan saat Presiden Joko Widodo memberi sambutan pada Hari Bangga Buatan Indonesia.

Pidato Presiden Joko Widodo saat mengajak masyarakat yang rindu kuliner khas daerah atau yang biasanya mudik membawa oleh-oleh agar tidak ragu memesannya secara daring menuai keriuhan di media sosial. Perhatian warganet terutama terarah pada penyebutan salah satu menu dalam pidato tersebut, yakni bipang ambawang. Manajemen komunikasi, terutama dalam melakukan pengecekan dan pengecekan ulang materi sambutan yang hendak disampaikan, dinilai penting, terutama menyangkut sensitivitas pesan di publik.

Sebagai gambaran, sambutan lengkap Presiden Joko Widodo yang menyebut soal bipang ambawang tersebut dapat dilihat di akun Youtube Kementerian Perdagangan yang mengunggah tayangan berjudul 05.05 Hari Bangga Buatan Indonesia. ”Produk lokal apa yang digunakan Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara semua hari ini? Tas, sepatu, jaket, atau apa? Jaket dan sepatu yang saya pakai ini adalah hasil produk lokal dan kualitasnya sangat baik. Karena itu, saya bangga buatan Indonesia dan saya juga membelinya secara online,” kata Presiden saat mengawali sambutannya.

Editor:
Anita Yossihara
Bagikan