logo Kompas.id
β€Ί
Politik & Hukumβ€ΊParadoks Demokrasi dan Sekolah...
Iklan

Paradoks Demokrasi dan Sekolah Politisi

Sekolah politisi bisa jadi salah satu cara yang layak dicoba untuk mengubah perilaku dan kinerja politisi. Namun perubahan besar kuncinya tetap di partai politik.

Oleh
SHARON PATRICIA
Β· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/zocotl27Qr_InyLVeeI0VbQxA1c=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F10%2F20191022_ENGLISH-TAJUK-1_A_web_1571754472.jpg
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Ilustrasi: Massa mahasiswa berunjuk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta, Selasa (24/9/2019). Mereka menuntut pembatalan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang baru saja direvisi DPR dan pemerintah. Protes publik atas revisi yang bakal melemahkan KPK diabaikan sehingga memicu unjuk rasa tak hanya di Jakarta tetapi di berbagai daerah.

Paradoks demokrasi yang menguat pasca-reformasi menggugah sekelompok orang untuk melahirkan sekolah khusus bagi politisi. Yang disasar para politisi muda. Harapannya, warna baru akan lahir di panggung politik, dan demokrasi kembali ke jalurnya.

Sudah bukan rahasia, demokratisasi pasca-reformasi masih belum sesuai harapan. Demokrasi baru sebatas demokrasi prosedural, padahal untuk mencapai demokrasi yang ideal, demokrasi substansial menjadi unsur penting yang harus dicapai.

Editor:
Antonius Ponco Anggoro
Bagikan