Bangga Jadi ”Wong” Banyumas
Mengurangi interaksi dengan media sosial juga bisa menjadi langkah awal menerapkan gaya hidup ”slow living”.
Saya bangga menjadi wong Banyumas ketika Tim Jurnalisme Data Harian Kompas menyoroti kawasan ideal untuk menjalani gaya hidup tenang dan menempatkan Banyumas Raya pada ranking ketiga sebagai kawasan aglomerasi ideal untuk pensiun (63,3) dan ranking pertama sebagai tujuan migrasi warga Jabodetabek (10,83 persen) (Kompas, 9/12/2024).
Saya lahir dan besar di Banyumas, tepatnya di Sokaraja yang dikenal sebagai kota getuk dan sroto. Selesai kuliah di Universitas Jenderal Soedirman pada tahun 1980, saya merantau ke Jakarta, Palembang, Padang, Manado, Surabaya, Semarang, dan Yogyakarta.
Ada pemeo di Banyumas yang berbunyi ”Banyumas Ditunggoni Wudani, Ditinggal Ngedani”. Artinya, kalau tinggal di Banyumas ”ditelanjangi”, tetapi kalau ditinggal dirindukan. Setelah pensiun dari sebuah bank BUMN, saya dan keluarga kembali tinggal di Purwokerto.