Membangun Ekosistem Tata Kelola Royalti Musik yang Sehat
Banyaknya jumlah LMK bukan jaminan bagi terwujudnya sistem tata kelola royalti musik yang sehat dan optimal.
Membaca rangkaian liputan Suara Tak Terdengar dengan tema royalti, yang dimuat di harian Kompas selama tiga hari berturut-turut awal pekan lalu, mau tak mau mendatangkan perasaan miris. Namun, tak hanya rasa prihatin, kisah tentang nasib yang dialami Carli Suryaman, Andi Mapajalos, Yok Koeswoyo, serta keluarga dari mendiang Ismail Marzuki hingga Gombloh terkait hak mereka untuk menerima royalti atas penggunaan lagu yang mereka ciptakan juga mengundang banyak pertanyaan mengenai tata kelola royalti musik di negeri ini.
Pada dasarnya, setiap lagu dengan atau tanpa lirik adalah ciptaan, yaitu obyek perlindungan hak cipta berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Setiap pencipta lagu merupakan pemegang hak cipta atas lagu-lagu yang ia ciptakan. Di samping ”hak moral” yang melekat abadi pada dirinya, hak cipta juga memberi pencipta lagu seperangkat ”hak ekonomi” sebagai dasar untuk memperoleh manfaat ekonomi, khususnya melalui imbal balik atas lisensi yang si pencipta berikan kepada pihak-pihak yang hendak menggunakan lagu ciptaannya tersebut, atau yang lazim disebut dengan royalti.