logo Kompas.id
OpiniNgebayangin Kebudayaan...
Iklan

Ngebayangin Kebudayaan (Tanggapan terhadap Nurman Hakim dan Hikmat Darmawan)

Sejak 1948, investasi kebudayaan melalui kongres yang selalu bersitegang urat leher itu sudah dilakukan Republik.

Oleh
AMINUDIN TH SIREGAR
· 1 menit baca
-
KOMPAS/SUPRIYANTO

-

Kalaulah diukur panjang kali lebar termasuk diameternya, maka (aspek) kebudayaan itu luas. Ibarat lapangan, apakah kebudayaan itu hanya ruang teoretis nan abstrak ataukah sebuah ruang yang dapat diamati dari manusia, tindakan, dan kehidupan sosialnya?

Saking luasnya, saya sering mereimajening, kok ya bisa-bisanya negara nekatngelola kebudayaan? Bisakah produk undang-undang, implementasi program, plus fulus-fulusnya itu mewakili (hanya) ”kebudayaan yang negara maksud”? Apakah ”entitas” di luarnya ”bukan kebudayaan”? Urusan begini bikin puyeng. Apa itu kebudayaan (menurut negara) dan apa sih yang bukan? Haruskah semuanya (atau sebagian saja, tapi yang mana?) dikonservasi, dipreservasi, direstorasi? Misalkan, apakah ”kebiasaan korupsi, kekerasan fisik-politik” itu semacam ”kearifan lokal” (satu dari banyak wujud warisan budaya)?

Editor:
MOHAMMAD HILMI FAIQ
Bagikan