logo Kompas.id
β€Ί
Opiniβ€ΊDemokrasi Kita yang Goyah
Iklan

Demokrasi Kita yang Goyah

Sistem politik Indonesia masih menyimpan bom waktu yang dapat meledak kapan pun.

Oleh
DENNY JA
Β· 1 menit baca
Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali memandu tiga wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, (dari kiri) Ahmad Muzani, Ahmad Basarah, dan Muhaimin Iskandar, di Ruang Sidang Paripurna Nusantara 1, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (26/3/2018).
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali memandu tiga wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, (dari kiri) Ahmad Muzani, Ahmad Basarah, dan Muhaimin Iskandar, di Ruang Sidang Paripurna Nusantara 1, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (26/3/2018).

Berbagai kompromi tingkat tinggi dalam Sidang Tahunan (ST) MPR kali ini dapat saja terjadi. Presiden, Wakil Presiden, dan MPR mungkin mampu berkompromi apakah yang akan diserahkan oleh Presiden kepada Wakilnya adalah tugas atau wewenang sebagai Kepala Pemerintahan. Kompromi dapat pula terjadi, misalnya, apakah pendelegasian sebagian kekuasaan Presiden itu dituangkan dalam bentuk Ketetapan (Tap) MPR, Keputusan Presiden (Keppres), ataupun cukup pernyataan lisan saja. Kompromi antara Presiden dan aneka pemimpin partai dapat pula terjadi mengenai komposisi kabinet baru.

Namun, apa pun bentuk kompromi yang dihasilkan, sistem politik Indonesia masih menyimpan bom waktu yang dapat meledak kapan pun. Penyebabnya, konstruksi kelembagaan politik kita (institutional framework) sangatlah rawan, dan justru topik ini yang luput dibicarakan dalam ST MPR. Kita menerapkan sistem presidensial dalam kondisi multipartai yang terfragmentasi. Dalam berbagai riset politik komparatif, konstruksi kelembagaan politik seperti ini diketahui acap membuat demokrasi tak dapat bertahan lama.

Editor:
RINI KUSTIASIH
Bagikan