Kecurigaan terhadap Tiktok
Perusahaan teknologi sudah menjadi aktor di dalam diplomasi. Namun, negara tidak menyiapkan perangkat untuk berhadapan dengan mereka.
Berbagai negara mencurigai keberadaan platform Tiktok. Akan tetapi, sejauh ini tidak terbukti platform tersebut melakukan seperti yang dituduhkan.
Tiktok tak redup di bawah sentimen anti-China, yang digaungkan di negara-negara Barat. Di Amerika Serikat, aturan yang melarang Tiktok di Negara Bagian Montana ditangguhkan. Sementara di Eropa, untuk pertama kalinya, Tiktok membangun tiga pusat data sekaligus untuk menepis kecurigaan pencurian data. Penangguhan larangan Tiktok itu diputuskan pada Kamis (30/11/2023) oleh Hakim Distrik AS, Donald Molloy. Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pelarangan itu dianggap tak sesuai dengan Amendemen Pertama Konstitusi AS tentang kebebasan berbicara ( Kompas, 4/12/2023). Kasus di Amerika Serikat dan Eropa ini hanyalah sebagian serangan yang menimpa platform video pendek dari China. Banyak negara yang jengah, tetapi sekali lagi tidak bisa membuktikan berbagai tuduhan. Beberapa negara akhirnya melakukan langkah ekstrem dengan menutup operasi Tiktok meski tanpa dasar yang jelas. Karena itu, sangat mungkin pada ujungnya adalah soal-soal yang tidak prinsip yang menjadi dasar pelarangan. Pertumbuhan penggunaan platform tersebut di berbagai negara memang sangat mengagetkan dan mungkin membuat cemas pelaku-pelaku domestik. Pada Juli lalu Indonesia dinobatkan sebagai negara dengan pengguna Tiktok terbesar, yaitu 113 juta. Setelah itu, diikuti oleh Amerika Serikat dan Brasil. Bagi negara penguasa teknologi seperti Amerika Serikat, angka-angka di atas tentu meresahkan dan bisa mengancam eksistensi sejumlah perusahaan teknologi negara itu. China yang makin kuat di berbagai bidang tentu saja makin kuat ketika perusahaan teknologi mereka mendominasi pasar. Situasi seperti ini yang menyebabkan berbagai upaya dilakukan untuk menekan pengaruh China, termasuk terhadap perusahaan teknologi mereka.