logo Kompas.id
OpiniMenakar Agenda Pembangunan...
Iklan

Menakar Agenda Pembangunan PLTN

Sebagai variabel kontrol terhadap permintaan listrik, PLTN akan tetap sebagai opsi terakhir dan ”gincu” politik energi nasional.

Oleh
HARIYADI
· 1 menit baca
Ilustrasi
SUPRIYANTO

Ilustrasi

Menguatkan pesan ”direktif” hasil diskusi Dewan Energi Nasional (DEN) dalam rangka penyiapan kajian tapak Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) untuk Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN) dan Rancangan Peraturan Presiden Percepatan Pembangunan Infrastruktur Penyediaan Tenaga Listrik Berbasis Energi Nuklir, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebut agenda-setting pembangunan PLTN mulai mengerucut di 2030 (Kompas.com, 15/10/2023). DEN memproyeksikan kontribusi PLTN pada bauran pembangkitan mencapai 0,25 gigawatt (GW) hingga 45 GW, masing-masing untuk skenario rendah dan tinggi pada 2032 dan 2060. Kesan segera ditindaklanjuti lebih kental tampaknya.

Menarik meski narasi ini sedikit ”mengecoh” karena untuk mengejar pembangunan yang menyisakan enam tahun ke depan harus ”dipaksakan” secara politik. Jika sebaliknya, dengan asumsi waktu pembangunan PLTN secara best-practice membutuhkan waktu 10-15 tahun, artinya pada 2033 atau 2038 kita baru bisa melihat PLTN beroperasi di Indonesia. Ini berarti setara dengan dua kali masa jabatan presiden. Ini belum diperhitungkan dengan tahapan mitigasi resistensi publik dan pilihan teknologi.

Editor:
YOVITA ARIKA
Bagikan