logo Kompas.id
β€Ί
Opiniβ€ΊMudik dan Kebutuhan Psikologis
Iklan

Mudik dan Kebutuhan Psikologis

Meskipun ada berbagai macam risiko dan kesulitan, mengapa jutaan orang tak pernah kapok untuk pulang kampung di hari raya? Jawabannya karena mudik tidak hanya sekadar tradisi, tetapi juga merupakan kebutuhan psikologis.

Oleh
ABDUL MUHID
Β· 1 menit baca
Pemudik sepeda motor istirahat setelah menempuh perjalanan jauh sebelum mereka melanjutkan ke tujuannya di Gombel, Kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu (19/4/2023).
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Pemudik sepeda motor istirahat setelah menempuh perjalanan jauh sebelum mereka melanjutkan ke tujuannya di Gombel, Kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu (19/4/2023).

”Mau mudik tanggal berapa?” Pertanyaan tersebut akan semakin sering kita dengar dari kolega, kerabat, dan orangtua kita di kampung halaman. Hal itu seiring akan berakhirnya bulan Ramadhan 1444 Hijriah kali ini. Seperti yang kita tahu, mudik merupakan tradisi tahunan di Indonesia, di mana masyarakat melakukan perjalanan dari perkotaan untuk kembali kampung halaman merayakan Idul Fitri bersama keluarga. Mudik berarti kita akan tinggal selama beberapa hari di kampung halaman.

Imajinasi tentang mudik berisi tentang udara segar dan embun pagi di kampung, persawahan dengan padi yang menghijau atau telah menguning, tidur malam dengan diiringi suara jangkrik, dan bangun di pagi hari disambut suara ayam berkokok. Suasana kampung yang demikian tentu menjadi angan-angan yang lama dirindukan kaum urban yang sehari-hari hidupnya berkutat pada kerja, kerja, dan kerja.

Editor:
SAIFUL RIJAL YUNUS
Bagikan