logo Kompas.id
OpiniBangsawan
Iklan

Bangsawan

Menjelang pemberian tugas kebangsawanan bagi pemimpin kedelapan, rasanya pantas untuk mengingatkan pentingnya memilih kebangsawanan budi di atas godaan yang diwarnai gemerlapnya simbol-simbol politik jangka pendek.

Oleh
HERU PRASETYO
· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/wY9peMVJFpDFBroQDQy17gH1BbE=/1024x576/https%3A%2F%2Finr-production-content-bucket.s3.ap-southeast-1.amazonaws.com%2FINR_PRODUCTION%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F12%2F18%2Fc95ab474-25e9-42c9-9378-ed9f70ac178b_jpg.jpg

Acara ”Kebyar Budaya” yang megah dan merakyat bertajuk pernikahan putra Presiden Joko Widodo baru-baru ini mendapat banyak sambutan. Mayoritas kagum dan mengapresiasi dan ada yang menyebutnya royal wedding termegah dalam sejarah Indonesia. Sebuah istilah yang memicu kontroversi karena kata royal biasa disematkan kepada para bangsawan (nobility).

Almarhum ayah saya, Ir RM Sarjadi Hardjosoepoetro—semoga arwahnya beristirahat dalam damai—adalah seorang bangsawan pinggiran dari klan Mangkunegaran. Pernah ikut perang kemerdekaan sebagai anggota Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) dan pengenyam pendidikan kesarjanaan pertanian.

Editor:
SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN
Bagikan