logo Kompas.id
β€Ί
Opiniβ€ΊPercakapan Senyap Sang...
Iklan

Percakapan Senyap Sang Pangeran Selarong

Peter Carey menghadirkan sosok Diponegoro sebagai keterwakilan perjuangan nilai-nilai universal terhadap nilai-nilai penindasan sosial dan dampak dari perlawanan tersebut bagi proses transformasi sosial.

Oleh
WIJANARTO
Β· 1 menit baca
Lukisan Diponegoro Menyerah karya Nicolaas Pieneman, pelukis dan litografer asal Belanda.
DOK. AGUS DERMAWAN T

Lukisan Diponegoro Menyerah karya Nicolaas Pieneman, pelukis dan litografer asal Belanda.

Nama Pangeran Diponegoro bukan hanya warisanepikbagi bangsa ini. Namun, juga menumbuhkan warisan mitos yang dipelihara pula. Mitos itu melengkapi bagaimana Diponegoro sangat penting dalam merekonstruksi identitas yang berkait dengan api perjuangan nasionalisme. Imajinasi ihwal jati diri diperlukan dengan menghadirkan sosok seorang Diponegoro. Sebagaimana Mohammad Yamin merekonstruksikan profil Diponegoro dan Perang Jawa (1825-1830) dalam buku Sedjarah Peperangan Diponegoro: Pahlawan Kemerdekaan Indonesia (1952). Bagi bangsa Indonesia, Diponegoro tidak sekadar memorabilia historis, tetapi ia adalah dian yang tak harus sirep. Di tangan penyair Chairil Anwar, Diponegoro menggelegak bagai bara api: ”…..di depan sekali tuan menanti/tak gentar lawan banyaknya seratus kali/pedang di kanan keris di kiri/berselubung semangat yang tak bisa mati.

Peter Carey menghidupkan kembali Diponegoro bukan sekadar sebagai sosok. Artinya, elan perjuangannya pun diperlukan tidak hanya untuk masanya, tetapi juga hari ini diperlukan sosok absolut: Diponegoro. Seolah ia telah menegaskan takdirnya dan masa depan tanah Jawa seperti diterakan dalam kutipan Babad Diponegoro, wus dadi karsaning sukma/Tanah Jawi pinasthi mring Hyang Widi/kang duwe sira/datan ana iya maning-maning (Peter Carey, Takdir, 2014).

Editor:
YOHANES KRISNAWAN
Bagikan