Suami Perokok
Perilaku merokok memiliki risiko yang besar terjadinya penyakit kronis. Bagi kebanyakan perokok, berhenti merokok tidaklah mudah. Perlu dukungan orang-orang terdekat dan akses pada layanan henti rokok yang memadai.
Suami saya merokok sejak SMP. Pada waktu itu keluarganya mendapat kesulitan untuk membiayai sekolahnya. Akibatnya, dia pulang sekolah berkeliling menjajakan rokok. Sambil berdagang, dia ikut-ikutan merokok dan kebiasaan tersebut sulit dilepaskannya. Dia merokok terus-menerus sampai SMU. Ketika masuk universitas, dia malu diketahui merokok sehingga dia berhenti merokok. Hanya berhasil selama setahun, kemudian dia merokok lagi meski sambil sembunyi agar tak diketahui teman-temannya. Sewaktu akan menikah dengan saya, dia sudah berjanji akan berhenti merokok. Namun, juga hanya ditepatinya selama satu setengah tahun. Sehabis saya melahirkan, dia mulai merokok lagi meski dia tak berani merokok di dalam rumah atau di dekat keluarga.
Saya tak ingin bertengkar sehingga saya membawanya ke dokter. Dokter menasihatinya untuk berhenti merokok dan mengurangi berat badan. Dia memang gemuk, punya darah tinggi dan kolesterolnya juga tinggi. Dokter menjelaskan bahwa dia menderita sindrom metabolik. Jika tak mengubah gaya hidup, sindrom metabolik dapat berkembang menjadi diabetes melitus serta mungkin akan timbul penyakit penyerta lain seperti penyakit jantung, stroke, atau paru. Saya tentu merasa khawatir karena anak saya masih kecil. Suami saya termasuk pekerja keras. Dia punya bisnis yang sedang berkembang. Dia sering makan siang di luar rumah dan juga harus sering bepergian ke luar kota. Saya pegawai bank dan saya dapat bekerja secara teratur. Kehidupan saya lebih mudah untuk menyesuaikan dengan gaya hidup sehat.