Surat Pembaca
Identitas
Pada tatanan masyarakat kita, siapa yang berani mengganggu orang dengan penampilan religius, atau menolak perintah atasan, pemuka agama, atau yang ditokohkan, sekalipun perintahnya abu-abu?
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F08%2F17%2F2980b889-0e5b-482a-9cb5-adc8c1037aca_jpg.jpg)
Upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI di Istana Merdeka, sejak Presiden Joko Widodo menjadi ajang merayakan keberagaman. Termasuk ulang tahun ke 77 NKRI, Rabu (17/8/2022), ketika Para menteri Kabinet Indonesia Maju dengan pakaian adat warna warni, bergoyang mengikuti irama Farel Prayoga (12) bernyanyi. KOMPAS/HERU SRI KUMORO 17-08-2022
Identitas secara alamiah melekat pada individu. Misalnya jenis kelamin, usia, dan nama. Namun, identitas juga bisa dikonstruksikan, misalnya terkait kapabilitas individu. Identitas diperlukan sebagai pembeda, sekaligus menunjukkan indahnya keberagaman ciptaan Tuhan.
Menjadi persoalan jika identitas dipolitisasi sehingga menjadi aktivitas yang memarjinalkan pihak lain. Misalnya, pemuka agama yang memanfaatkan pengaruhnya untuk memobilisasi massa, cuci otak, demi ambisi pribadi atau kelompoknya. Mengatasnamakan identitas dengan kalkulasi kuantitas tanpa diimbangi kualitas ibarat mempersiapkan lubang kubur sendiri.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Baca Epaper Kompas