logo Kompas.id
OpiniMerawat Indonesia
Iklan

Merawat Indonesia

Membaca Kompas berarti memasuki gerbang pesemaian nilai kemanusiaan, toleransi, etika berbahasa, penghormatan atas perbedaan, dan apresiasi atas kekayaan etnik dan budaya. Kita belajar mengelola perbedaan.

Oleh
Steph Tupeng Witin SVD
· 1 menit baca
Sejumlah siswa SMP menghadiri Apel Nusantara Bersatu "Indonesiaku, Indonesiamu, Indonesia Kita Bersama" di Lapangan Simpang Lima, Semarang, Jawa Tengah, Rabu (30/11). Hadir sejumlah tokoh antara lain Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, Kapolda Jateng, Pangdam IV/Diponegoro Mayjen TNI Jaswandi, Kepala Polda Jateng Inspektur Jenderal Condro Kirono, dan Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya. Mereka menyerukan pentingnya menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kompas/Aditya Putra Perdana (DIT) 30-11-2016
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA

Sejumlah siswa SMP menghadiri Apel Nusantara Bersatu "Indonesiaku, Indonesiamu, Indonesia Kita Bersama" di Lapangan Simpang Lima, Semarang, Jawa Tengah, Rabu (30/11). Hadir sejumlah tokoh antara lain Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, Kapolda Jateng, Pangdam IV/Diponegoro Mayjen TNI Jaswandi, Kepala Polda Jateng Inspektur Jenderal Condro Kirono, dan Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya. Mereka menyerukan pentingnya menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kompas/Aditya Putra Perdana (DIT) 30-11-2016

Salah satu pendiri Kompas, Jakob Oetama, mengatakan bahwa Kompas adalah ”Indonesia Kecil” dengan keterikatan intens terhadap ”Indonesia Besar”.

Tapak intelektualisme Kompas menegaskan bahwa sejarah adalah titian Jakob Oetama, P Swantoro, dan PK Ojong merajut Indonesia Kecil bernama Kompas. Ini menjadi basis ”membaca” jejak sejarah Indonesia Besar.

Editor:
AGNES MARIA ARISTIARINI ISWARI
Bagikan