logo Kompas.id
OpiniMerenungkan Surat Gelanggang
Iklan

Merenungkan Surat Gelanggang

Belum ada pandangan kebudayaan dan sastra kita secara serius beranjak dari kesadaran memahami anatomi kebudayaan sendiri, dan menghasilkan formula sastra baru. Sastra kita lamban mengikuti laju perkembangan sastra dunia.

Oleh
RANANG AJI SP
· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/dsCw9i0dFhmlMiSEI8LX1_AjbUQ=/1024x1270/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2022%2F01%2F20211230-OPINI-Merenungkan-Surat-Gelanggang_1640875028.jpg
Kompas

Supriyanto

”Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia, dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak, dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur baur dari mana dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.”

Sastrawan Angktan ’45, dalam deklarasinya di majalah Siasat tahun 1950, menulis dengan tegas tujuh poin pernyataann yang dikenal sebagai ”Surat Kepercayaan Gelanggang”. Poin pertama isinya adalah pembuka di atas, disusul enam poin yang menguatkan pandangan pertama. Mungkin kita agak melupakan itu—atau bahkan sebagian generasi baru belum sempat membaca—tetapi pengaruh hegemoninya merasuk hingga saat ini.

Editor:
Yovita Arika
Bagikan