Satu Bangsa, Satu atau Beberapa Bahasa
Kini situasi berubah total. Bahasa Bali mundur drastis. Di ruang perkotaan, penggunaannya menyusut dengan cepat. Ratusan ribu pendatang tidak tahu-menahu bahasa Bali.
Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Begitulah seruan Sumpah Pemuda pada 1928. Seruan ini lalu berkumandang di segala pelosok negeri ini. Dengan sukses. Hingga bahasa Indonesia kini menjadi juga ”bahasaku”, bule yang terlahir 15.000 kilometer dari ”tanah dan air” Indonesia ini. Namun, muncul pertanyaan. Apakah seruan ”satu bahasa” telah meraih sukses terlalu besar di negeri ini?
Empat puluh tahun yang lalu, ketika saya mulai bermukim di Bali, ruang penggunaan bahasa dan budaya Bali luas sekali. Pewayangan menjadi sarana utama penurunan sistem nilai. Pengetahuan agama masih di dalam kuasa kalangan brahmana. Kaum intelektual berpendidikan modern berjumlah segelintir saja. Belum ada peziarah ke Sungai Gangga dan Jamuna: konsep keumatan internasional Hindu belum terpikir oleh si wong cilik Bali yang kebanyakan masih petani itu. Pendeknya, budaya Bali masih bersifat lokal, dan berbahasa lokal, untuk melayani mentalitas lokal.