Surat Pembaca
Partai Politik dan Korupsi
Banyak yang mendirikan partai baru demi mengejar kekuasaan. Entah perlu berapa tahun atau bahkan dekade sampai kita benar-benar memiliki partai yang bersih dan profesional, melayani rakyat dan bukan sekadar berkuasa.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F10%2F68463869-c21b-4575-8665-a1e24043186a_jpg.jpg)
Lambang partai politik peserta Pemilu 2019 tergambar di sebuah tembok di kawasan Gandaria, Jakarta Selatan, Minggu (24/10/2021). Kalangan pemuda mengharapkan aksi partai politik benar-benar dapat dirasakan di tengah masyarakat, bukan hanya untuk kepentingan elektoral. Survei Litbang Kompas pada Oktober 2021 menunjukkan, porsi responden dari generasi Z (di bawah 24 tahun) yang belum menentukan pilihan pada partai politik masih 48,1 persen, tertinggi dibandingkan dengan generasi Y (24-39 tahun), X (40-55 tahun), dan baby boomers (56-74 tahun). Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum, pemilih berusia maksimal 30 tahun saja 60,3 juta jiwa atau 31,7 persen dari total pemilih tetap Pemilu 2019.
Apabila ada kader atau elite partai politik, baik sebagai wakil rakyat maupun pejabat pemerintah, terlibat tindak pidana korupsi, suap-menyuap, atau perilaku yang ujung-ujungnya keuntungan uang, ada beberapa penyebab mengapa mereka berperilaku lancung.
Pertama, memang dalam darah mereka mengalir bakat untuk berperilaku tidak baik. Mereka ini kapan saja, setiap ada peluang, akan mengambil kesempatan untuk bertindak yang merugikan banyak pihak.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi: Partai Politik dan Korupsi".
Baca Epaper Kompas