logo Kompas.id
β€Ί
Opiniβ€ΊSeniman, Lapar Berat, dan...
Iklan

Seniman, Lapar Berat, dan Martabat

Kisah kehidupan pekerja seni jadi drama memesona ketika dilengkapi dengan fragmen kesengsaraannya. Namun, ketika pandemi Covid-19 melanda, pesona itu menjelma jadi kemiskinan yang nyata menyiksa.

Oleh
AGUS DERMAWAN T
Β· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/aQBGlv306U7XsWJAkZIrVPinD_o=/1024x1510/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F09%2F20210922-Ilustrasi-Cerpen-Melukis-Ulang-Kampung-Item_1632319979.jpg
Kompas

Didie SW

Dunia internasional menetapkan 17 Oktober sebagai Hari Pengentasan Kemiskinan. Lalu statistik kaum papa dan lata dibikin. Apalagi dalam 20 bulan terakhir ketika pandemi Covid-19 meluruk, yang menyebabkan jutaan orang mendadak semakin miskin karena tidak memiliki pekerjaan. Di sela-sela jajaran statistik miskin itu adalah pekerja seni, yang tidak hanya kehilangan ruang berekspresi, tetapi juga remuk-redam dalam ekonomi.

Di Indonesia berbagai upaya penyelamatan nasib miskin pekerja seni dilakukan. Pada September 2020, misalnya, digelontorkan bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 26,5 miliar kepada 26.500 pekerja seni seluruh Indonesia. Dengan begitu, setiap pekerja seni dalam jangka pendek mendapat BLT sebesar Rp 1 juta. Jumlah bantuan ini seturut dengan kategorinya yang disetarakan dengan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang biasanya berpenghasilan rata-rata maksimal Rp 5 juta-Rp 10 juta per bulan.

Editor:
yohaneskrisnawan
Bagikan