Warisan Buku, Kemerosotan Literasi, Dinasti Cendekiawan
Penjualan koleksi pustaka para cendekiawan/sastrawan oleh ahli warisnya jamak terjadi. Tindakan ini merupakan satu bukti sangat konkret dari kegagalan literasi di rumah sang cendekiawan/sastrawan sendiri.
Para generasi penerus, dalam beberapa kisah yang terjadi di Indonesia, menjual koleksi buku warisan. Kita sudah mendengar kisah-kisah koleksi pustaka para cendekiawan/sastrawan yang dijual oleh ahli warisnya, anak-anaknya sendiri, setelah sang cendekiawan/sastrawan meninggal. Kisah-kisah penjualan koleksi buku itu sebenarnya βtabuβ untuk dikisahkan, apalagi dianalisis dengan tajam dan karenanya tidak perlu menyebut nama dalam esai ini. Namun, kita tetap harus merefleksikannya.
Kita mungkin bisa membayangkan: hampir pasti bahwa koleksi pustaka yang dijual itu dikumpulkan sedikit demi sedikit sampai akhirnya menjadi sangat banyak, menumpuk, memenuhi satu atau sekian ruang di rumah si sastrawan/cendekiawan. Terkadang, dalam proses pengumpulan itu, si sastrawan/cendekiawan masih dalam kondisi miskin, susah makan, tidak punya rumah, dan berbagai tagihan keuangan yang terus menghantui, tetapi tuntutan berpustaka adalah keniscayaan yang sering susah ditawar. Dia sudah pasti sadar, sungguh mustahil mengandalkan perpustakaan publik yang cukup lengkap sesuai dengan keilmuan dan minatnya.