Narasi Maskulinitas dan Radikalisme
Masa pandemi Covid-19 ini, di mana orang lebih banyak tinggal di rumah dan sering kali “iseng” mencari hiburan dan informasi di medsos, membuka peluang munculnya proses manipulasi narasi maskulin yang toksik, beracun.
Ideologi kematian yang ditawarkan kelompok terorisme global tampaknya semakin mewujud di kawasan Asia Tenggara. Menurut catatan The Soufan Center pada Juni 2021, paling tidak ada 34 aksi bom bunuh diri selama 20 tahun terakhir. Yang lebih mengkhawatirkan, menurut lembaga ini, aksi-aksi itu dilakukan secara bersama oleh pasangan suami istri yang saling mencintai. Meskipun demikian, aksi terorisme masihlah “dunianya para lelaki”. Namun ironisnya pisau analisa ‘gender’ terutama ‘maskulinitas’ dalam menjelaskan proses radikalisasi seorang lelaki, nyaris tidak pernah terdengar.
Gender di sini merujuk pada identitas, harapan sosial, tantangan dan juga kesempatan untuk menjadi sosok ‘maskulin’ atau ‘feminin’ dalam lingkungan tertentu. Ia adalah sebuah perilaku dan sikap yang harus dipelajari, dipraktikkan berdasarkan konstruksi sosial tertentu.