logo Kompas.id
›
Opini›Menghormati Kematian
Iklan

Menghormati Kematian

Seiring dengan tuntutan efisiensi waktu, tenaga, dan mempertimbangkan hal-hal yang lebih bermartabat, tahun 2000-an mulai diperkenalkan krematorium walaupun diawali oleh umat Kristiani di Bali.

Oleh
Putu Fajar Arcana
· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/VEb4jN0NSW2namTseYHTSg1ybII=/1024x1167/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F08%2FCAN_1565170607-e1583251049886.jpg
Kompas

Putu Fajar Arcana, wartawan senior Kompas

Ketika angin berembus kencang terdengar suara desis dari tubuh lembu. Api tiba-tiba membesar dan asap membubung menggapai pepohonan di pekuburan. Para pelayat menyingkir dari sisi barat, mereka khawatir terimbas udara panas yang disemburkan lidah api. Aku lihat tubuh ringkih Ricka Cahyani perlahan jatuh dari dalam lembu untuk kemudian benar-benar diperabukan dalam raga Sang Hyang Agni.

Api dan lembu adalah dua simbol penting dalam ritus Ngaben di Bali. Api representasi dari Dewa Brahma, Sang Pencipta, sedangkan lembu adalah kendaraan Dewa Siwa, Sang Pelebur. Lewat perantaraan lembu, pertama-tama unsur-unsur pembentuk tubuh manusia (bhuwana alit) dikembalikan kepada semesta (bhuwana agung). Seluruh unsur yang menubuhkan manusia, disebut sebagai Panca Mahabhuta, yang terdiri dari Pertiwi (zat padat), Apah (zat cair), Teja (panas tubuh), Bayu (napas), Akasa (unsur terhalus dari badan yang menjadikan rambut dan kuku, disebut ether), dikembalikan lewat api ke alam semesta. Semesta besar (bhuwana agung) dipresentasikan sebagai asal mula, tubuh Tuhan yang meruang. Oleh sebab itulah muncul konsep tentang Tuhan sebagai wyapi wyapaka nirwikara, Tuhan berada di mana-mana, tidak terpengaruh dan tidak berubah.

Editor:
sariefebriane
Bagikan